digitalbank.id – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menyatakan siap mendukung upaya amandemen UU No 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, dalam kaitannya dengan potensi dan peluang Bank Perkreditan Rakyat (BPR) untuk mendapatkan pendanaan dari pasar modal melalui skema go public mulai terbuka.
Menurut Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi PDIP Musthofa, pihaknya mendukung penuh upaya industri BPR mencari permodalan melalui skema go public.
“BPR selama ini dipandang sebelah mata. Padahal, fungsi dan peran BPR tak beda jauh dengan bank umum, yakni sama-sama menjalankan fungsi intermediasi. BPR bakan menjadi ujung tombak lembaga keuangan nasional dalam menggerakkan UMKM,” katanya di Jakarta akhir pekan ini.
Menurut dia, Panja DPR siap mendukung dan men-support penuh langkah-langkah ke arah itu, termasuk usulan amandemen UU Perbankan, UU BI, UU OJK, dan UU LPS. Dia mengatakan hal itu dalam seminar ‘Potensi dan Peluang BPR Go Public dan Go Digital’ yang digelar The Finance dan Perbarindo dan peluncuran buku biografi “Kepeloporan dan Keteladanan Bankir Wymbo Widjaksono”.
Baca juga: BPR Lestari ungkap, selama 2021 transaksi digital melalui Lestari Mobile capai 615.000
Lebih lanjut Musthofa mengatakan sangat mendukung upaya menyetarakan BPR dengan bank umum, khususnya dalam mencari pendanaan. “Jangan khawatir investor asing akan membawa dananya keluar. Sekarang sudah era borderless, tak ada lagi sekat antarnegara.”
Bahkan, sebagai upaya tindak-lanjut dari wacana BPR go public, pihaknya juga berjanji akan membawanya ke Panja DPR. “Kerja DPR kan kolektif kolegial, harus melibatkan anggota yang lain, tidak bisa kerja sendirian,” katanya.
Sementara itu Ketua Umum Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo), Joko Suyanto pun menyatakan, go public atau initial public offering (IPO) menjadi dambaan bagi industri BPR, salah satunya sebagai upaya dalam meningkatkan permodalan.
Dia menjelaskan, ada sejumlah keuntungan jika BPR go public, antara lain mendapatkan insentif pajak, meningkatkan nilai perusahaan, meningkatkan market awareness, menumbuhkan loyalitas karyawan, akses pada pendanan baru, dan meningkatkan good corporate governance (GCG).
Baca juga: Kolaborasi BPR dan fintech sangat efektif untuk dongkrak kinerja
Selain keuntungan, lanjut Joko, adapula sejumlah tantangan yang harus diperhatikan BPR ketika akan go public, yaitu delusi dan kontrol atas kepemilikan, transparansi dan pelaporan harus dilakukan secara profesional, biaya-biaya yang terkait dengan pasar modal, market pressure, serta regulasi dan pemenuhannya. “Itu tantangan. Regulasi, dan penggunaannya, di tambah lagi apa bila sekarang sudah jelimet nanti akan makin jelimet lagi ketika kita IPO,” ujarnya.
Anggota Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Didik Madiyono mengungkapkan, dirinya juga mendorong BPR/BPRS untuk go public yang akan berdampak positif pada penguatan permodalan, peningkatan efisiensi dan profitabilitas, serta memperkuat pelaksanaan good corporate governance bagi BPR/BPRS.
“Kami tentu memotivasi BPR/BPRS untuk terus berinovasi dan bertransformasi agar dapat bertumbuh secara berkelanjutan serta selalu menjaga kinerja keuangannya. LPS senantiasa hadir untuk menjaga kepercayaan masyarakat pada industri perbankan, termasuk BPR/BPRS,” kata Didik.
Baca juga: Aset BPR-BPRS terus tumbuh, Perbarindo siapkan strategi go digital untuk anggotanya
Adapun permodalan masih menjadi masalah utama di BPR, terlebih setelah adanya kewajiban penyediaan modal minimum dan pemenuhan modal inti minimum BPR sesuai POJK No 5/POJK.03/2015. Menurut POJK tersebut, modal inti minimum BPR ditetapkan sebesar Rp 6 miliar yang wajib dipenuhi paling lambat 31 Desember 2024.
Padahal, masih banyak BPR yang memiliki modal inti di bawah Rp 6 miliar. Berdasarkan data Infobank Institute, per Januari 2022, ada 501 (30,7%) BPR bermodal inti di bawah Rp 6 miliar dari total jumlah BPR sebanyak 1.631 BPR (1.467 BPR dan 164 BPRS). Masih banyaknya jumlah BPR dengan modal inti di bawah Rp 6 miliar membutuhkan perhatian khusus semua pihak terkait. (HAN)