digitalbank.id – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberi ruang kepada perbankan di Indonesia untuk masuk ke metaverse. Teknologi metaverse bukan hanya sebuah manifestasi inovasi teknologi, namun secara ekonomi memberikan peluang peningkatan value atau nilai terhadap aset digital yang ada di dalamnya.
Direktur Eksekutif Penelitian dan Pengaturan Perbankan OJK Anung Herlianto mengatakan berbagai potensi ekonomi yang mendukung teknologi metaverse a.l. proyeksi endgame spending yang sudah mencapai US$18,4 miliar pada 2022, pada 2020 pendapatan metaverse global mencapai US$500 miliar dan diprediksi menyentuh US$800 miliar pada 2024.
Pasar utama pembuatan game oline dan hardware mencapai US$400 miliar pada 2024, sementara sisanya peluang entertainment dan media sosial. Kapitalisasi pasar NFT telah menyentuh US$41 miliar, kemudian penjualan realestate di 4 platforms metaverse mencapai US$501 juta pada 2021.
Baca juga: Tempuh langkah revolusioner, Metabank tawarkan sistem waralaba di metaverse
Lalu perkembangan kripto aset. Investor tradisional di pasar modal di Indonesia ada 8 juta investor, sementara investor kripto aset mencapai lebih dari 12 juta investor dengan nilai fantastis. OJK juga mecermati US$54 miliar dihabiskan untuk pembelian barang-barang virtual. VR dan AR memliki potensi untuk menambang US$1,5 triliun terhadap perekonomian global di 2030.
“Data-data tersebut tidak bisa dinafikan. Harus kita cermati. Ini [metaverse] adalah sebuah potensi ekonomi luar biasa yang perlu kita tap bersama-sama melalui kemajuan teknologi,” ujarnya pada saat Networking Event: Webinar on Banking in Metaverse, Metabanking as a New World Ecosystem yang diselenggarakan OJK, Kamis (16/6).
Pembicara lainnya adalah Charles Budiman (EVP Diigital Banking Head PT Bank KB Bukopin Tbk.), Andes Rizky (Founder & Managing Director Shinta VVR), Jeffrey Budiman (Group Chief Innovation Office & Co-Founder WIR Group) dan Yohan Sugiono (AVP Digital Retail Solutions PT Bank Mandiri Tbk).
Baca juga: Allo Bank berencana masuk ke metaverse untuk lengkapi layanan nasabah
Menurut Anung, perkembangan teknologi berjalan lebih epat dari yang kita bayangkan denagn berbagai inovasi baru. “Kadang kita bikin business plan 5 tahun ke depan, kenyataannya besok itu sudah menjadi realita yang kita hadapi,” katanya.
Itu pula, kata dia, yang terjadi pada metaverse yang saat ini menjadi sangat fenomenal. JPMorgan mendefinisikan metaverse sebagai konvergensi tanpa batas dari kehidupan fisik digital kita. Ini menciptakan komunitas virtual tempat kita bekerja, bermain, transaksi dan
sosialisasi.
“Itu bukanhayalan lagi karena berbagai bank di dunia saat ini sudah masuk ke metaverse, sebut saja BNP Paribas, JP Morgan, HSBC, Bank of America, Hana Bank, KB Kookmin Bank. Bahkan di Swedia dan Swiss sudah ada bank yang mendapat izin sebagai virtual bank,” kata Anung.
Lantas bagaimana halnya dengan perbankan di Indonesia yang juga beberapa di antaranya sudah memberikan sinyal kuat masuk ke metaverse? Apakah indonesia akan mengikuti perkembangan yang terjadi di kancah perbankan global?
Baca juga: 4 alasan utama mengapa bank harus masuk ke metaverse
Menurut Anung, masih perlu analisis mengenai peluang dan tantangan metaverse dan analisis kebijakan apa yang dibutuhkan perbankan dan apa saja yang dapat difasilitasi oleh OJK.
“Pilihannya adalah apakah kita berat kepada manfaat yang memberi peluang inovasi atau kita tetap memperhatikan dan mengantisipasi risiko yang mungkin muncul. Balancing di antara pilihan ini menjadi perdebatan tersendiri bagi regulator,” tutur Anung.
Prinsipnya, demikian Anung, OJK selalu mendorong perbankan meningkatan daya saing dengan akselerasi transformasi digital. Indonesia termasuk negara yang perkembangan teknologi digitalnya melebihi rata-rata perkembangan teknologi global.
“Saya yakin kolaborasi regulator dengan industri perbankan dengan memperhatikan aspek risiko akan membuat bank semakin fleksibel dalam berinovasi. Akan halnya metabanking, OJK memilih memfasilitasi yang memberikan ruang kondusif bagi pebankan untuk terus melakukan inovasi tanpa mengabaikan prinsip kehati-hatian,” demikian Anung.
Baca juga: HSBC rilis produk investasi berbasis metaverse untuk orang kaya di HK dan Singapura
Lebih lanjut dia mengatakan transformasi digital sudah menjadi keniscayaan, terlebih di sektor perbankan.The begining of digitalization. “Tidak ada pilihan lain, lebih baik segera. Mau tidak mau perbankan mesti mentransformasi bisnis prosesnya dengan melakukan digitalisasi berbagai aspek untuk menjaga relevansi bisnisnisnya.”
Perkembangan teknologi yang pesat sekarang AI, blockchain, simulating reality dan masih banyak lagi lainnya, telah mengubah ekspektasi nasabah akan produk dan layanan perbankan yang lebih mengarah pada digital experience. “Terlebih di masa pandemi ini, akselerasinya luar biasa. Hal ini bukan lagi pilihan tapi sudah menjadi keharusan agar tetap relevan dengan ekspektasi nasabah.”
Pesatnya perkembangan itu menciptakan banyak peluang yang sangat sayang untuk dilewatkan oleh bank. Peluang bisnis luar biasa. Potensi ekonomi digital Indonesia luar
biasa. “Di 2030 nanti PDB kita akan meningkat hinggaRp24.000 triliun, kemudian ekonomi
digital mencapai Rp4.531 triliun yang didotong sektor e-commerce yang mendominasi
ekonomi digital sebesar Rp1.900 triliun (34%),” tandasnya. (HAN)