digitalbank.id – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan kemungkinan kenaikan suku bunga oleh Bank Indonesia tidak akan memengaruhi permintaan kredit perbankan. Alasannya, selama ini terbukti permintaan kredit tidak sensitif terhadap perubahan suku bunga.
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso di Washington, Amerika Serikat, dalam diskusi virtual dengan media di Jakarta, awal pekan ini mengatakan tantangan utama saat ini adalah mendorong permintaan kredit dengan mengerahkan kebijakan yang ada.
“Ketika suku bunga turun, belum tentu orang ramai-ramai ambil kredit. Demikian pula ketika suku bunga naik, tidak serta merta orang tidak ambil kredit. Ada faktor yang lebih penting, yaitu demand yang harus kuat,” ujarnya.
Baca juga: Prospek dan potensi bank syariah di Indonesia sangat menjanjikan
Menurut dia, sejak pandemi, permintaan kredit terjadi anomali. Perubahan suku bunga tidak berpengaruh signifikan terhadap perubahan permintaan kredit. Ketika suku bunga sangat rendah, permintaan kredit tetap lemah karena ekonomi memang terpukul. “Makanya kemudian dibilang transmisi kebijakan suku bunga bank sentral tidak berjalan. Padahal, memang karena demand-nya yang lemah,” kata Wimboh.
Wimboh memandang bahwa perubahan suku bunga kebijakan Bank Indonesia dalam kondisi saat ini masih sebatas sebagai panduan (guidance). “Kebijakan suku bunga lebih dimaksudkan untuk merespons persepsi investor khususnya di pasar uang dan fixed income,” tuturnya.
Sejauh ini Bank Indonesia belum berniat menaikkan suku bunga acuan, meski Bank Sentral AS (The Fed) sudah menaikkan suku bunga FFR sebesar 25 basis poin. Gubernur BI Perry Warjiyo menyatakan bahwa BI akan menaikkan suku bunga acuan apabila laju inflasi sudah mengancam, namun tidak menyebut angka persisnya.
Baca juga: OJK jelaskan potensi investasi jasa keuangan di Indonesia kepada investor AS
Itulah sebabnya, tugas utama pemerintah adalah mendorong permintaan kredit lewat serangkaian kebijakan yang dimiliki, khususnya dalam mendorong penciptaan lapangan kerja. “Sektor-sektor potensial yang selama ini tidur harus dbangkitkan untuk menciptakan ruang pertumbuhan ekonomi yang baru,” tegas Wimboh.
OJK dalam Pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan Januari lalu memproyesikan pertumbuhan kredit tahun ini sebesar 7,5% dan kenaikan dana pihak ketiga sekitar 10%
Wimboh juga menginformasikan perkembangan terbaru restrukturisasi kredit, yang hingga Februari 2022 mencapai Rp638,22 triliun dengan jumlah debitur 3,7 juta. Posisi tersebut berkurang sebesar Rp 25,27 triliun dibandingkan akhir tahun 2021 yang masih sebesar Rp663,49 triliun. Sedangkan jika dibanding total restrukturisasi kredit tahun 2020 yang mencapai Rp829,71 triliun, posisi restrukturisasi tersebut menusut Rp191,49 triliun.
Menurut Wimboh, kondisi perbankan saat ini masih tetap solid. Pertumbuhan DPK cukup tinggi. Kenaikan giro wajib minimum (GWM) yang diberlakukan Bank Indonesia tidak berpengaruh signifikan terhadap kondisi likuiditas perbankan.
Baca juga: OJK mencatat jumlah kantor cabang bank semakin berkurang
“Dengan fundamental ekonomi yang kuat, ekonomi tahun ini diprediksi tetap akan tumbuh minimal 5,3%, meski terjadi normalisasi kebijakan moneter dan kenaikan harga komoditas global,” ujar Wimboh.
Kredit perbankan bakal melanjutkan tren positif. Per Februari lalu, kredit bertumbuh sebesar 6,33% secara tahunan (year on year/yoy), sehingga outstanding tercatat sebesar Rp 5.762,4 triliun. Realisasi ini tumbuh membaik dibandingkan Januari 2022 sebesar Rp 5.709,4 triliun. Adapun rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) terkendali di level 3,08%.
Pertumbuhan kredit tersebut didorong oleh naiknya kredit modal kerja sebesar 7,57%, kredit investasi 5,49%, dan kredit konsumsi sebesar 5,21%. Sedangkan dana pihak ketiga tumbuh 11,11% menjadi Rp7.384,4 triliun, dibanding posisi Januari 2022 sebesar Rp7.362,6 triliun. (HAN)