digitalbank.id – BANK-BANK digital di Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam menyalurkan kredit. Kalau urusan menghimpun dana bank-bank digital sudah sangat terampil. Padahal penyaluran kredit itu sangat penting untuk stabilisasi dan kinerja perbankan.
Di bank digital, tampaknya untuk menghadirkan aplikasi andal yang dapat membaca dengan baik kemampuan nasabah membayar kredit, menjadi tantangan yang harus dipenuhi oleh perbankan berbasis jaringan internet atau bank digital dalam mengoptimalkan penyaluran dana. Laporan Moody’s mengidentifikasi bahwa bank digital lebih sulit dalam menyalurkan kredit dibandingkan dengan menghimpun dana masyarakat.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah mengatakan menyalurkan dana yang telah dikumpulkan ke masyarakat dalam bentuk kredit merupakan tantangan bagi seluruh bank, baik konvensional maupun digital. Akan tetapi bank digital memang memiliki tantangan lebih berat dalam menjalankan fungsi intermediasi.
“Belum ada aplikasi yang bisa memudahkan bank menyalurkan kredit. Bagaimana menerapkan prinsip 5C dalam penyaluran kredit pada sebuah aplikasi sehingga kredit yang disalurkan bisa diyakini aman,” kata Piter, akhir pekan lalu. Sekadar informasi, prinsip 5C merupakan prinsip yang digunakan bank atau pemberi pinjaman lainnya untuk mengukur kelayakan debitur (peminjam) dalam menerima kredit. Prinsip 5C tersebut terdiri dari character (karakter), capacity (kapasitas keuangan), capital (modal), condition (kondisi) dan collateral (agunan).
Selain itu, belakangan ini tambahan 1C lagi yaitu constraint (hambatan). Teknologi informasi yang dimiliki bank digital harus dapat membaca 5C tersebut sebelum menyalurkan kredit. Aplikasi semacam itu, menurut Piter, belum dimiliki oleh bank digital. “Tujuannya agar bisa meyakinkan [bank] bahwa calon penerima kredit benar-benar bisa dan diyakini akan mengembalikan kreditnya,” kata Piter.
Aplikasi tersebut harus mengembangkan atau terkoneksi dengan berbagai data nasabah yang menjelaskan faktor 5C nasabah, termasuk dalam melakukan credit scoring nasabah. “Kalau aplikasi ini berjalan, semua sektor bisa saja dilayani sesuai kebijakan bank,” kata Piter.
Sebelumnya, Moody’s Investor Service, perusahaan jasa analisis keuangan dan analisisi atas lembaga usaha dan lembaga pemerintah, mengungkapkan model bisnis dalam siklus kredit menjadi tantangan bagi bank-bank digital di Asia Tenggara. Dalam laporannya yang berjudul Dampak Bank Digital Pada Inovasi dan Inklusi, Moody’s menyebutkan terlepas dari ekspansi kuat ke segmen waralaba, perkembangan bank digital di Asia Tenggara masih tahap awal.
Meski demikian, bank digital telah cukup berhasil dalam merangkul masyarakat yang belum terlayani. Keberhasilan bank digital akan tergantung pada kemampuan mereka untuk menanggung orang-orang yang tidak memiliki rekening bank dan tidak terlayani sehingga lebih menguntungkan. “Keuangan beberapa bank digital sejauh ini menunjukkan bahwa mereka lebih berhasil menarik simpanan daripada pinjaman penjaminan,” tulis Moody’s dalam laporannya.
Di sisi lain, PT Bank Neo Commerce Tbk. (BBYB) menyatakan bakal meluncurkan layanan digital lending pada Januari 2022. Langkah itu diambil seiring proyeksi yang menyebutkan proses digitalisasi di Indonesia akan semakin menggeliat pada tahun-tahun mendatang. “Terdekat kami telah meluncurkan layanan digital lending di ekosistem kami dan akan tersedia di pertengahan Januari di aplikasi neobank,” ujar Direktur Utama Bank Neo Commerce, Tjandra Gunawan, saat paparan publik pada 2021.
Berdasarkan laporan keuangan perusahaan, rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) bersih perseroan naik dari 2,67 persen pada akhir 2020 menjadi 3,28 persen per akhir September 2021. Namun, kondisi itu membaik jika dibandingkan dengan kuartal II/2021, yakni 3,42 persen. Sementara itu, PT Bank Jago Tbk. (ARTO) juga akan mulai menyalurkan kredit secara langsung melalui aplikasinya pada 2022. Bank Jago selama ini terus meningkatkan penyaluran kredit dan memperluas kolaborasi dengan digital ekosistem. Kolaborasi diwujudkan salah satunya melalui kerja sama dengan sejumlah perusahaan peer to peer (P2P) lending dan multifinance.
Direktur Utama Bank Jago, Kharim Siregar mengatakan saat ini semua pinjaman disalurkan melalui partnership lending, baik dengan perusahaan pembiayaan maupun P2P lending. “Bersama-sama dengan mereka, kami memastikan risk appetite sama,” ujarnya. Selain Bank Neo Commerce dan Bank Jago, peluncuran pinjaman secara digital juga akan dilakukan oleh PT Bank QNB Indonesia Tbk. (BKSW) bekerja sama dengan PT Indosat Tbk. (ISAT).(SAF)