Alibaba, raksasa teknologi asal Tiongkok, dilaporkan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap puluhan karyawan di divisi metaverse-nya, Yuanjing. Langkah ini mengikuti jejak perusahaan teknologi global lainnya seperti Baidu dan Meta, yang mulai mereduksi ambisi mereka dalam mengembangkan dunia virtual tersebut.
Menurut laporan eksklusif dari South China Morning Post (SCMP), restrukturisasi ini merupakan bagian dari upaya Alibaba untuk meningkatkan efisiensi perusahaan di tengah persaingan ketat dan perubahan fokus investasi.
Yuanjing, anak perusahaan yang didirikan pada tahun 2021, sebelumnya digadang-gadang sebagai salah satu ujung tombak Alibaba dalam menggarap teknologi metaverse. Hingga saat ini, Alibaba telah menginvestasikan miliaran yuan untuk mengembangkan berbagai solusi perangkat lunak dan perangkat keras di unit tersebut.
Namun, meski telah menyerap ratusan tenaga kerja, Yuanjing belum mampu menghasilkan produk yang signifikan sesuai ekspektasi. Salah satu produk unggulannya, sistem operasi berbasis cloud yang memungkinkan penggunaan metaverse dalam permainan video dan aplikasi industri, gagal menarik minat pasar yang diharapkan.
Ketika Yuanjing diluncurkan, Alibaba bersaing ketat dengan perusahaan teknologi besar lainnya seperti Tencent, Baidu, dan ByteDance. Tahun 2021 menjadi saksi kebangkitan besar-besaran investasi di dunia metaverse. Tencent bahkan tercatat mendaftarkan hampir 100 merek dagang terkait metaverse yang mencakup aplikasi perpesanan, musik, dan gim.
Namun, di tengah animo yang tinggi terhadap teknologi dunia virtual ini, realitas yang dihadapi Alibaba dan kompetitornya tidak sesuai ekspektasi. Kini, Alibaba mulai mengalihkan fokus investasi mereka ke teknologi yang dianggap lebih menjanjikan, yaitu kecerdasan buatan (AI). Baidu juga telah mengambil langkah serupa, terutama setelah keluarnya Ma Jie, kepala divisi metaverse mereka, yang diikuti dengan pengalihan sebagian besar investasi ke proyek AI.
Fenomena pengurangan ambisi metaverse tidak hanya terjadi di Asia. Meta, yang dipimpin oleh CEO Mark Zuckerberg, juga mengalami kerugian besar melalui divisi Reality Labs, yang fokus pada pengembangan metaverse. Pada kuartal ketiga tahun ini, Reality Labs melaporkan kerugian sebesar $4,4 miliar, menambah total kerugian perusahaan menjadi $58 miliar sejak tahun 2020. Meskipun demikian, Zuckerberg tetap optimis bahwa metaverse akan menjadi salah satu pilar utama masa depan Meta.
Pasar metaverse masih menjanjikan?
Walau tren metaverse saat ini tampak meredup, potensi pasarnya masih sangat besar. Menurut laporan dari Otoritas Pengatur Industri Keuangan Amerika Serikat (FINRA), metaverse diproyeksikan dapat mencapai nilai pasar hingga US$3 triliun pada tahun 2031. Dengan potensi sebesar ini, banyak pihak masih percaya bahwa dunia virtual ini akan menjadi bagian penting dari perkembangan teknologi masa depan.
Meski menghadapi tantangan besar dalam proyek metaverse-nya, Alibaba masih mempertahankan beberapa kegiatan di Yuanjing. Unit ini tetap mengembangkan alat dan aplikasi yang berbasis metaverse, meski fokus utama perusahaan kini mulai beralih ke teknologi yang lebih berpotensi menguntungkan seperti AI. Langkah ini diharapkan dapat memperkuat posisi Alibaba dalam persaingan teknologi global yang semakin ketat. ■