digitalbank.id – PEKAN INI Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo membuat statement yang sekaligus menjawab kegundahan perbankan di Indonesia dalam menyikapi metaverse. Perbankan banyak yang masih galau dengan teknologi metaverse, apalagi yang menyangkut kegunaannya. Banyak bankir menyatakan bahwa mereka belum mendapatkan use case yang pas mengenai metaverse. Dengan kata lain, kalangan perbankan belum paham benar mengapa mereka harus segera masuk ke metaverse?
Nah, kegalauan perbankan itu dijawab melalui pernyataan Perry Warjoyo yang mengatakan rupiah digital sebagai bagian dari Central Bank Digital Currency (CBDC) akan memudahkan kalangan anak-anak muda generasi milenial bertransaksi di ranah digital, termasuk di metaverse. Artinya, rupiah digital ini akan dikembangkan juga menjadi alat pembayaran atau alat tukar yang sah di metaverse.
Melalui rupiah digital ini, perbankan menyediakan dua akun terhadap para nasabahnya. Pertama untuk menyimpan uangnya dalam bentuk mata uang yang ada selama ini, seperti uang kertas. Kedua, untuk penyimpanan uang digital.
“Ke depan untuk para milenial akan punya dua akun di bank,” kata Perry dalam Konferensi Internasional Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan (BMEB) ke-16 dan Call for Papers 2022, Kamis, 25 Agustus 2022.
Perry menjelaskan, rupiah digital ini bisa digunakan sebagaimana kegunaan rupiah pada umumnya, yaitu sebagai alat tukar, sebagai satuan hitung, dan sebagai penyimpan nilai.
Tapi, dia menegaskan, tentu untuk rupiah digital digunakannya untuk seluruh kepentingan transaksi digital, seperti di metaverse, maupun untuk sebagai aset digital seperti aset kripto yang diterbitkan pihak swasta bukan bank sentral tertentu.
“Ke depan rupiah digital ini akan digunakan di digital banking, e-commerce, bahkan sampai ke metaverse, itu adalah rupiah digital kita,” ujar Perry.
Perry memastikan, rupiah digital ini akan betul-betul bisa terealisasi ke depannya karena mau tidak mau di tengah tumbuh pesatnya aset kripto yang memiliki risiko karena tidak dikelola bank sentral, keberadaan mata uang sebagai kedaulatan negara perlu diterbitkan dalam bentuk digital.
“Kita akan melakukan itu sehingga anda akan bisa melakukannya di metaverse dari situ menggunakan digital rupiah. Bapak-bapak dan ibu-ibu serta anak-anak milenial kita akan datang ke masa depan dari sekarang,” ucap Perry.
Saat ini, BI sudah memasuki tahap seleksi bank-bank besar maupun perusahaan sistem pembayaran yang juga berkapasitas kuat untuk mendistribusikan rupiah digital.
Proses seleksi ini ditempuh setelah BI memilih mekanisme distribusi mata uang digital rupiah tersebut melalui sistem wholesale. Bank besar dan perusahaan payment sistem itu kemudian dimandatkan untuk mendistribusikannya ke ritel.
Proses distribusinya akan menggunakan Distributed Ledger Technology (DLT) – Blockchain untuk memastikan keamanan digital rupiah bagi para pemiliknya. Didukung dengan khazanah rupiah digital seperti ruang khazanah sebagai tempat penyimpanan rupiah saat ini.
Soal metaverse ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga telah melakukan antisipasi dengan membuat panduan umum dalam cetak biru transformasi digital. OJK meminta perbankan untuk mengantisipasi adanya advance teknology karena perubahan teknologi akan terus menerus terjadi. Mengingat perkembangan produk akan terus terjadi sejalan dengan perkembangan teknologi, OJK dalam membuat aturan ke depan akan bersifat prinsiple based.
Artinya, regulator tak akan mengatur terkait pengembangan produk satu per satu lebih mengatur secara prinsip, seperti apa kehati-hatian yang dilakukan.
OJK berpenadangan, dalam memasuk dunia realitas virtual tersebut, bank disebut akan menghadapi empat tahapan.Pertama, new banking experience. Saat ini masyarakat sudah mulai investasi pada aset digital seperti kripto dan NFT sehingga bank mulai mengklasifikasikan keduanya sebagai kelompok aset baru. “Jadi pada tahapan ini dikatakan, konsumen dan pegawai bank akan direpresentasikan oleh avatar dalam ruang digital untuk dapat berinteraksi mengenaik berbagai produk dan layanan,” katanya.
Kedua, metaverse cloud. Pada tahapan ini berbagai bank akan tergabung dalam metaverse banking. Pada tahapan ini, konsumen akan bisa memilih bank di dalam metaverse itu.
Ketiga, bank menyediakan fasilitas untuk melakukan transaksi virtual menggunakan aset berbasis kripto. Konsumen bisa mengkonversi mata uang menjadi metaverse kripto currency.
Keempat, demokratisasi data. Tahapan ini akan memungkinkan konsumen memegang datanya sendiri dan membagikan data kepada pihak yang dikehendaki.
Kalau OJK sebenarnya menyambut baik kehadiran teknologi metaverse dan Bank Indonesia telah mengisyaratkan bahwa rupiah digital ini bisa dijadikan ‘mata uang’ dalam transaksi di metaverse, lantas bank-bank apa saja yang bisa memetik keuntungan atau mendulang bisnis dengan akan diimplementasikannya rupiah digital? Jawabannya adalah bank yang sudah masuk ke metaverse. Di Indonesia, ada beberapa bank yang sudah ancang-ancang akan masuk ke metaverse a.l. BNI, BRI, Bank Mandiri dan beberapa lagi lainnya. Tapi sampai hari ini kita belum melihat seperti apa metaverse banking-nya.
Lantas bagaimana dengan kebanyakan bank yang belum memutuskan masuk ke metaverse? Mau tidak mau, mereka harus segera merancang rencana untuk masuk ke metaverse bila tidak mau tertinggal. Kalau diramalkan bahwa milenial di Indonesia adalah segmen yang paling besar memanfaatkan metaverse.
Melihat sensus penduduk tahun 2020, dari 270,2 juta jiwa penduduk Indonesia, generasi Z atau kaum Zilenial (kelahiran 1997-2012) mencapai 27,94 persen atau 74,93 juta jiwa. Sementara itu, generasi milenial (kelahiran 1981-1996) mencapai 25,87 persen atau 69,38 juta jiwa. Dua generasi itu menjadi modal berharga Indonesia untuk menapaki periode 10 tahun mendatang. Mereka disokong oleh generasi X (kelahiran 1965-1980) yang mencapai 21,87 persen atau 58,65 juta jiwa. Dari data ini terlihat betapa besarnya potensi bank yang masuk ke metaverse yang transaksi di dalamnya dilakukan generasi zilenial dan milenial dengan menggunakan rupiah digital.
Maka dari itu, bank harus mulai dari sekarang membuat perencanaan yang matang utnuk masuk ke metaverse, termasuk merencanakan roadmap-nya.Roadmap masing-masing bank tentu berbeda. Tidak sama, disesuaikan dengan kebutuhan dan goal tiap-tiap bank. Kalau bank memang sudah punya roadmap yang jelas mengenai metaversenya, sekaranglah saat yang tepat untuk bank masuk ke metaverse. Tidak perlu menunggu lagi, sebab perkembangan teknologi berlangsung sangat cepat.
Ada beberapa poin yang mesti diperhatikan dalam menyusun metaverse roadmap untuk industri perbankan. Pertama, bank harus melakukan riset internal untuk melihat organisasi bank itu sendiri, konsumen/nasabah, dan tujuan perusahaan yang ingin dicapai melalui pemanfaatan teknologi, dalam hal ini metaverse.
Kedua, bank perlu melakukan riset eksternal secara kontinyu agar kebutuhan internal bisa selaras dengan perkembangan teknologi metaverse itu sendiri, inovasi terbarukan, dan terobosan-terobosan yang dilakukan perbankan nasional dan global.
Ketiga, melibatkan konsumen/nasabah, dalam hal uji coba implementasi kecil (pilot project) untuk menganalisa asas manfaat dan mitigasi risiko terkait implementasi teknologi.
Keempat, menggandeng partner teknologi yang valid dan terpercaya dengan rekam jejak yang baik untuk membangun roadmap teknologi metaverse.
Kelima, merencanakan, membangun, menguji, dan mengimplementasikan roadmap secara bertahap dan berkelanjutan.
So, tak perlu lagi menunggu, sekaranglah waktu yang tepat bagi perbankan untuk masuk ke metaverse. (HAN)