digitalbank.id – METAVERSE sebuah keniscayaan yang cepat atau lambat akan kita hadapi, termasuk di dunia perbankan. Andes Rizky, Managing Director Shinta VR, perusahaan pengembang metaverse di Indonesia mengatakan, metaverse secara global setidaknya mengikuti 3 tahap penting yang harus dilalui dan disadari oleh semua pihak yang akan memasukinya.
Tahap pertama adalah early stage yang disebut Meta Rooms. Tahap kedua adalah preparing yakni tahap yang disebut sebagai blockchain powered metaverse. Dan ketiga adalah tahap later, saat ketika semua aspek di metaverse sudah matang. Pada tahap ini, metaverse sudah menjadi dunia ketika kehidupan nyata manusia sudah bercampur dengan dunia virtual, mempengaruhi satu sama lain, terintegrasi. Sebuah dunia yang menawarkan kebebasan berekspresi, memfasilitasi seluruh interaksi tanpa batas. “Di Indonesia, kita sudah memasuki tahap preparing, makanya kita harus mulai merintis jalan menuju ke metaverse, termasuk metaverse banking,” ucap Andes.
Soal kesiapan perbankan menghadapi metaverse, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai ada lima tantangan yang perlu diantisipasi terkait dengan perkembangan potensial metaverse di Indonesia terutama di sektor keuangan. Deputi Komisioner Pengawas Perbankan I Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Teguh Supangkat menjelaskan bahwa tantangan pertama terkait keselamatan. Para pengguna metaverse dinilai rentan terkena perundungan siber, stalking, dan perilaku tidak menyenangkan di dunia virtual.
“Kedua adalah data. Ini terkait dengan keamanan dan kerahasiaan data, mengingat ada identitas palsu yang memungkinkan terjadi,” ujarnya dalam keterangan tertulis, dikutip Jumat (5/8/2022). Ketiga, kata Teguh, bertalian dengan keamanan. Hal itu mengingat metaverse yang bertautan dengan area Teknologi Informasi (TI) sehingga ada potensi ancaman siber dan fraud.
Keempat, masih menurut Teguh, metaverse yang dikelola secara outsourcing dinilai dapat menimbulkan risiko tersendiri. Kelima adalah kolaborasi. Teguh menyampaikan bahwa alam metaverse pengguna harus berkolaborasi sebagai sebuah ekosistem, sehingga ketergantungan antarekosistem akan berisiko ketika satu ekosistem mengalami down.
“Harus diwaspadai penggunaan data pribadi di dalam metaverse karena ada potensi online abuse, cyberbullying, dan persoalan keselamatan. Jadi, teknologi bergerak memberikan potensi sekaligus risiko,” kata Teguh. Menurutnya, ada beberapa area yang perlu disiapkan serta dimatangkan dalam pengembangan teknologi metaverse, antara lain terkait dengan peningkatan kinerja untuk avatar dan definisi standar aset digital agar dapat ditransfer antar dunia maya. “Termasuk juga infrastruktur komersial yang mengintegrasikan dunia maya berupa web 2.0 maupun web 3.0 dengan sistem pembayaran keuangan tradisional. Ada evolusi sistem pembayaran berbasis digital webs aset,” tuturnya.
Hal lain adalah terkait infrastruktur pajak, akuntansi, dan sosial yang harus terus dikembangkan untuk bisa meregulasi dengan sistem akuntansi dan dapat dikaitkan dengan metaverse.(SAF)