
Sepanjang 2024, IFG Life dan Mandiri Inhealth—dua perusahaan asuransi jiwa BUMN—membayarkan klaim senilai Rp10,6 triliun kepada lebih dari 890.000 peserta. Sementara itu, industri asuransi jiwa secara keseluruhan mencatat penurunan total klaim sebesar 1,5% menjadi Rp160,07 triliun, melanjutkan tren penurunan sejak 2022. Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) menyoroti bahwa penurunan ini didorong oleh berkurangnya klaim surrender hingga 13,3%.
Fokus utama:
- IFG Life dan Mandiri Inhealth bayar klaim Rp10,6 triliun. Dana tersebut disalurkan kepada lebih dari 890.000 peserta sepanjang 2024.
- Total klaim industri asuransi jiwa menurun menjadi Rp160,07 triliun, dengan klaim surrender menyusut 13,3%.
- Digitalisasi, penetrasi pasar, serta keseimbangan antara profitabilitas dan kewajiban pembayaran klaim menjadi perhatian utama ke depan.
Dua perusahaan asuransi jiwa BUMN, PT Asuransi Jiwa IFG (IFG Life) dan PT Asuransi Jiwa Inhealth Indonesia (Mandiri Inhealth), telah membayarkan klaim senilai Rp10,6 triliun sepanjang 2024. Dana ini mengalir kepada lebih dari 890.000 peserta, mencerminkan komitmen perusahaan dalam memberikan perlindungan finansial kepada nasabahnya.
Direktur Keuangan IFG Life, Ryan Diastana Firman, menegaskan bahwa pembayaran klaim ini menjadi bukti nyata tanggung jawab perusahaan terhadap pemegang polis. “Kami terus berkomitmen memberikan layanan dan perlindungan terbaik untuk rencana masa depan setiap keluarga di Indonesia. Sepanjang 2024, IFG Life telah membayar klaim Rp6,8 triliun untuk sekitar 240.000 peserta,” ujarnya, Kamis (27/2).
Mandiri Inhealth, yang berfokus pada asuransi kesehatan korporasi, turut berkontribusi dengan membayarkan klaim sebesar Rp3,8 triliun sepanjang tahun lalu. Plt. Direktur Utama Mandiri Inhealth, Rahmat Syukri, menekankan bahwa kualitas layanan tetap menjadi prioritas utama perusahaan. “Kami memastikan seluruh peserta mendapatkan manfaat optimal dan pelayanan terbaik,” katanya.
Di sisi lain, industri asuransi jiwa secara keseluruhan mencatat penurunan klaim dan manfaat yang dibayarkan. Data Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) menunjukkan bahwa total klaim industri sepanjang 2024 turun 1,5% year-on-year (yoy) menjadi Rp160,07 triliun.
Tren penurunan ini sudah terjadi sejak 2022. Saat itu, total klaim dan manfaat mencapai Rp174,65 triliun, kemudian turun 6,9% pada 2023 menjadi Rp162,52 triliun, dan kembali menyusut pada 2024.
Ketua Bidang Produk, Manajemen Risiko, dan GCG AAJI, Fauzi Arfan, mengungkapkan bahwa penyebab utama penurunan ini adalah berkurangnya klaim surrender (nilai tebus) sebesar 13,3% menjadi Rp77,15 triliun dibandingkan Rp88,97 triliun pada 2023. “Penurunan klaim surrender ini menunjukkan bahwa semakin banyak nasabah yang memilih untuk mempertahankan polis mereka, dibandingkan mencairkannya lebih awal,” ujarnya dalam konferensi pers di Jakarta (28/2).
Klaim surrender biasanya terjadi ketika pemegang polis memilih untuk menarik dana sebelum masa polis berakhir. Penurunan dalam kategori ini dapat diartikan sebagai meningkatnya kepercayaan nasabah terhadap industri asuransi jiwa atau kondisi ekonomi yang lebih stabil sehingga masyarakat tidak terburu-buru mencairkan dana asuransi mereka.
Meskipun klaim turun, industri asuransi jiwa tetap menghadapi berbagai tantangan. Salah satunya adalah menjaga keseimbangan antara profitabilitas dan kewajiban pembayaran klaim, terutama di tengah meningkatnya tekanan ekonomi global dan inflasi domestik.
Selain itu, peran digitalisasi dan insurtech semakin penting dalam menarik minat masyarakat terhadap produk asuransi. Dengan meningkatnya literasi keuangan dan inovasi produk, perusahaan asuransi diharapkan dapat menawarkan solusi yang lebih fleksibel dan sesuai dengan kebutuhan nasabah.
Menurut laporan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), jumlah pemegang polis asuransi jiwa di Indonesia masih relatif rendah dibandingkan negara-negara tetangga. Oleh karena itu, strategi pemasaran dan edukasi keuangan menjadi kunci untuk meningkatkan penetrasi asuransi jiwa di Indonesia.
Dengan adanya tren penurunan klaim serta peningkatan kepercayaan terhadap industri, tahun 2025 dapat menjadi momentum bagi perusahaan asuransi untuk memperluas jangkauan dan inovasi produk. Namun, mereka juga harus tetap waspada terhadap tantangan ekonomi yang dapat berdampak pada likuiditas dan solvabilitas industri. ■