
Sebanyak 27 perusahaan asuransi umum di Indonesia terancam keberlanjutan operasionalnya akibat regulasi OJK yang mengharuskan ekuitas minimum Rp250 miliar. Sementara sebagian besar pemain besar telah memenuhi syarat, kelompok perusahaan kecil masih kesulitan menghimpun modal tambahan. Para pelaku industri meminta regulator memberi kelonggaran waktu hingga 2026 untuk menghindari guncangan di sektor asuransi.
Poin utama:
- POJK No. 20/2023 mewajibkan ekuitas minimum Rp250 miliar bagi perusahaan asuransi umum, berdampak pada 27 dari 72 perusahaan yang belum memenuhi persyaratan.
- Hanya 17 perusahaan yang memiliki ekuitas di atas Rp1 triliun dengan penguasaan pasar premi 62%, sementara 37,5% perusahaan menghadapi tekanan modal.
- AAUI meminta OJK memberikan relaksasi hingga 2026 untuk memungkinkan perusahaan kecil menyesuaikan modal, terutama mengingat efek limpahan dari krisis ekonomi dan pandemi.
Sebanyak 27 perusahaan asuransi umum tengah menghadapi ujian berat. Regulasi baru Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam POJK No. 20/2023 menetapkan ekuitas minimum sebesar Rp250 miliar sebagai syarat mutlak bagi perusahaan asuransi yang ingin tetap beroperasi. Namun, hingga awal 2025, lebih dari sepertiga pemain di industri ini masih kesulitan memenuhi persyaratan tersebut.
Data yang dipaparkan PT Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo) mengungkap bahwa dari total 72 perusahaan asuransi umum konvensional, hanya 45 yang telah memenuhi syarat ekuitas minimum, sementara 27 lainnya masih tertinggal. Meski secara pangsa pasar kelompok ini hanya menyumbang 10% dari total premi industri, jumlahnya cukup signifikan: 37,5% dari total pemain di sektor asuransi umum.
“Kelompok ini yang paling banyak terdampak. Dari 72 perusahaan, ada 27 yang belum memenuhi ketentuan modal Rp250 miliar, atau 37,5%,” ujar Direktur Utama Askrindo, Fankar Umran, dalam webinar media asuransi, Kamis (30/1/2025).
Sementara itu, data menunjukkan 17 perusahaan besar dengan modal di atas Rp1 triliun menguasai 62% pangsa pasar premi, sedangkan 7 perusahaan dengan modal Rp500 miliar–Rp1 triliun hanya menguasai 9%. Sisanya, 21 perusahaan memiliki modal antara Rp250 miliar–Rp500 miliar dengan pangsa pasar 19%.
Ancaman lagging spill over effect
Di tengah regulasi ketat, industri asuransi juga masih merasakan dampak ekonomi yang ditinggalkan pandemi COVID-19. Rasio klaim asuransi kredit meningkat drastis dari 61% pada 2019 menjadi 86% di kuartal III/2024, menunjukkan lonjakan risiko yang belum sepenuhnya mereda.
“Setiap krisis ekonomi memiliki efek limpahan tertunda (lagging spill over effect) yang dapat meningkatkan rasio klaim dalam beberapa tahun berikutnya,” jelas Fankar.
Dengan meningkatnya klaim, perusahaan asuransi yang modalnya masih di bawah ketentuan terancam kesulitan menjaga likuiditasnya. Jika kondisi ini dibiarkan tanpa solusi, ada potensi tekanan besar terhadap sektor keuangan secara keseluruhan.
Melihat tekanan yang dihadapi perusahaan asuransi kecil dan menengah, Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) telah mengajukan permohonan kepada OJK untuk memberikan relaksasi waktu pemenuhan modal hingga 2026.
“Kami sudah menyampaikan surat kepada regulator agar ada kelonggaran waktu, setidaknya sampai akhir 2026. Namun, hingga saat ini belum ada tanggapan,” kata Ketua Umum AAUI, Budi Herawan.
AAUI menekankan bahwa regulasi ini perlu diimplementasikan dengan pendekatan yang lebih fleksibel, mengingat saat ini industri juga tengah beradaptasi dengan standar akuntansi baru PSAK 117 yang masih dalam tahap paralelisasi.
Jika OJK tidak memberikan relaksasi, banyak perusahaan asuransi dengan ekuitas di bawah Rp250 miliar bisa terpaksa keluar dari pasar. Hal ini berisiko mengurangi persaingan dan berdampak pada keterjangkauan produk asuransi bagi masyarakat dan dunia usaha.
Regulasi ekuitas minimum bertujuan untuk memperkuat stabilitas industri asuransi di Indonesia, terutama menghadapi risiko-risiko makroekonomi di masa depan. Namun, implementasi kebijakan ini dihadapkan pada dilema: di satu sisi diperlukan untuk menjaga ketahanan industri, di sisi lain dapat membuat perusahaan kecil tersingkir jika tidak ada solusi transisi yang memadai.
Apakah OJK akan memberikan kelonggaran waktu bagi 27 perusahaan ini? Atau justru membiarkan mekanisme pasar yang menentukan nasib mereka? Keputusan regulator dalam beberapa bulan ke depan tampaknya akan sangat menentukan peta persaingan di industri asuransi nasional. ■