
Pasar kripto kembali bergairah setelah sempat mengalami koreksi, dengan Bitcoin menyentuh level US$80.000. Namun, sentimen pasar masih terombang-ambing oleh ketidakpastian inflasi AS dan potensi dampak kebijakan tarif Donald Trump. Para analis menilai bahwa meskipun prospek jangka pendek tampak cerah, bayang-bayang risiko makroekonomi global tetap menghantui. Investor disarankan mulai melirik strategi akumulasi jangka panjang dan diversifikasi aset untuk meredam gejolak yang mungkin terjadi.
Fokus utama:
- Kenaikan harga Bitcoin dan altcoin di tengah ketidakpastian makroekonomi
- Peran data inflasi AS dan kebijakan tarif Trump dalam membentuk sentimen pasar
- Strategi investasi kripto di tengah volatilitas dan potensi koreksi pasar
Pasar aset digital menunjukkan pemulihan yang signifikan hari ini. Bitcoin, mata uang kripto paling populer di dunia, kembali menyentuh level US$80.000 setelah sempat terkoreksi tajam ke US$74.000 pada perdagangan sebelumnya. Lonjakan ini juga diikuti oleh sederet altcoin seperti HYPE, TAO, HBAR, MKR, KAS, SUI, dan RENDER yang mengalami kenaikan harga lebih dari 10% dalam 24 jam terakhir.
Namun, reli jangka pendek ini belum cukup menghapus tekanan yang membayangi pasar secara keseluruhan. Mengacu data Coingecko, total kapitalisasi pasar kripto saat ini berada di angka US$2,591 triliun, masih lebih rendah dibandingkan posisi 1 April lalu yang sebesar US$2,766 triliun. Meski begitu, lonjakan volume perdagangan dari US$108 miliar menjadi US$239 miliar dalam periode yang sama menunjukkan geliat pasar mulai kembali menguat.
Fahmi Almuttaqin, Analis dari platform perdagangan aset digital Reku, menilai bahwa optimisme pasar turut didorong oleh ekspektasi terhadap data inflasi Amerika Serikat (AS) yang akan dirilis 10 April mendatang. “Data CPI AS berpotensi memberi angin segar jika kenaikannya sesuai proyeksi ekonom di angka 2,5% secara tahunan. Itu akan menjadi tingkat inflasi tahunan terendah sejak September lalu,” ujar Fahmi, Senin (8/4).
Proyeksi tersebut didasarkan pada survei ekonom yang dilakukan Dow Jones Newswires dan The Wall Street Journal, yang memperkirakan inflasi tahunan AS turun dari 2,8% pada Februari menjadi 2,5% pada Maret.
Namun, menurut Fahmi, sentimen positif tersebut bisa jadi bersifat sementara. Pasalnya, pasar masih dibayangi ketidakpastian dari kebijakan ekonomi Donald Trump, khususnya rencana kenaikan tarif impor AS.
“Indikator Tariff Fear Gauge UBS menunjukkan penurunan tajam dari 30% pada Maret menjadi hanya 11% di April. Artinya, pelaku pasar belum sepenuhnya mengantisipasi dampak dari kebijakan tarif baru ini,” ungkap Fahmi, mengutip analisis Bhanu Baweja dari UBS yang menyebut bahwa jika rencana tarif tersebut diterapkan, rata-rata tarif impor AS bisa melonjak dari 2,5% menjadi 24%. Implikasinya, ekonomi AS diperkirakan menyusut hingga 2% dan inflasi melonjak ke angka 5% tahun ini.
Kondisi ini bukan hanya mengancam pasar saham, tetapi juga menempatkan pasar kripto dalam posisi rentan. Meski demikian, ada satu sisi menarik yang kini mulai diperhatikan investor: posisi Bitcoin sebagai instrumen pelindung nilai (inflation hedge).
Jika harga emas berhasil mencetak rekor tertinggi akibat kekhawatiran inflasi, maka bukan tidak mungkin Bitcoin, yang kerap dijuluki “emas digital”, kembali mencuri perhatian investor. Meski korelasi antara kripto dan saham masih tinggi, potensi Bitcoin sebagai aset safe haven dinilai semakin relevan di tengah ketidakpastian global.
Tren ini juga tercermin dalam aliran dana ETF Bitcoin spot di AS. Berdasarkan data Coinglass, selama periode 1–7 April hanya tercatat arus keluar neto sebesar US$202,1 juta, jauh lebih baik dibandingkan arus keluar sebesar US$739,2 juta pada periode yang sama di bulan Maret.
“Minimnya tekanan jual terhadap Bitcoin menandakan adanya ketertarikan yang mulai tumbuh kembali dari investor, terutama untuk jangka panjang. Strategi akumulasi secara bertahap menjadi langkah yang masuk akal dalam mempersiapkan portofolio menghadapi potensi sentimen positif ke depan,” kata Fahmi.
Ia menambahkan bahwa bagi investor yang memiliki orientasi jangka panjang dan berbasis fundamental, pendekatan Dollar-Cost Averaging (DCA) terhadap aset kripto dengan kapitalisasi pasar besar bisa menjadi strategi optimal. “Pemanfaatan fitur seperti Packs di Reku yang dilengkapi sistem rebalancing otomatis sangat membantu dalam diversifikasi aset secara praktis dan efisien,” jelasnya.
Sementara itu, bagi investor aktif atau trader harian, volatilitas saat ini justru menjadi peluang untuk mengelola portofolio secara dinamis. “Likuiditas tinggi di Reku memungkinkan transaksi dilakukan dengan harga terbaik dan bebas slippage,” ujar Fahmi menutup.
Dalam lanskap ekonomi global yang penuh ketidakpastian, kripto tetap menjadi ladang spekulasi sekaligus instrumen potensial bagi mereka yang siap dengan strategi tepat. Namun, tetap penting untuk memantau faktor eksternal—seperti inflasi, kebijakan moneter, dan ketegangan perdagangan global—yang bisa sewaktu-waktu mengubah arah pasar secara drastis. ■