
Rencana Presiden Donald Trump untuk memberlakukan tarif balasan (reciprocal tariffs) terhadap mitra dagang utama Amerika Serikat memicu kepanikan di pasar global. Saham-saham teknologi di Wall Street anjlok, Bitcoin longsor, sementara emas melonjak ke rekor tertinggi, mencerminkan kekhawatiran investor atas potensi perang dagang besar-besaran yang bisa mengguncang ekonomi global dan memperburuk inflasi.
Fokus utama:
- Dampak langsung kebijakan tarif Trump terhadap pasar keuangan global, termasuk aset kripto dan saham teknologi.
- Potensi konsekuensi ekonomi lanjutan, seperti inflasi, pengangguran, dan sikap The Fed terhadap suku bunga.
- Strategi investor dalam menghadapi ketidakpastian pasar, termasuk akumulasi aset dan diversifikasi.
Dunia kembali diguncang oleh keputusan politik Amerika Serikat. Presiden Donald Trump, dalam langkah yang menuai kontroversi luas, resmi menandatangani kebijakan tarif balasan terhadap berbagai mitra dagang AS, memicu kekacauan di pasar keuangan global. Kebijakan tersebut langsung memukul aset-aset berisiko seperti saham teknologi dan mata uang kripto, serta mendorong lonjakan permintaan terhadap emas sebagai aset safe haven.
Segera setelah rincian tarif diumumkan, Bitcoin anjlok ke level US$83.000 dari posisi sebelumnya sempat menyentuh US$87.000. Pasar saham AS tidak kalah parah: indeks Nasdaq 100 anjlok 2,3%, sementara S&P 500 turun 1,7% dalam perdagangan pasca jam kerja. Saham-saham teknologi menjadi korban utama. Tesla dan Palantir melemah hingga 8%, Apple tergelincir 7%, sedangkan Amazon dan Nvidia masing-masing turun 6%. Bahkan saham-saham sektor ritel seperti Nike dan Walmart ikut terseret, masing-masing melemah 7%.
Di sisi lain, harga emas melonjak ke hampir US$3.200 per ounce — mencatat rekor tertinggi baru. Lonjakan ini mencerminkan meningkatnya kekhawatiran investor terhadap risiko geopolitik dan ketidakpastian ekonomi, serta langkah pelarian modal dari instrumen berisiko tinggi.
Trump menjelaskan bahwa kebijakan tarif ini merupakan bentuk perlindungan atas ekonomi domestik yang menurutnya telah “dirugikan oleh perdagangan yang tidak adil selama lebih dari 50 tahun.” Kebijakan ini mencakup:
- Tarif 25% untuk seluruh mobil impor, mulai berlaku 3 April.
- Tarif umum 10% untuk seluruh barang impor lainnya, berlaku mulai 5 April.
- Tarif khusus terhadap negara-negara tertentu mulai 9 April:
- China: 34%
- Vietnam: 46%
- Taiwan: 32%
- Korea Selatan: 25%
- Uni Eropa: 20%
- Swiss: 31%
Langkah ini diperkirakan akan memicu respons keras dari negara-negara mitra dagang utama, terutama China dan Uni Eropa, yang bisa memperuncing tensi geopolitik dan memicu perang dagang berkepanjangan. Analis memperkirakan dampak ekonomi global bisa lebih buruk dibandingkan perang dagang era Trump sebelumnya pada 2018–2019.
Fahmi Almuttaqin, analis dari Reku, menyebut bahwa implementasi penuh dari kebijakan ini berpotensi menyalakan kembali tekanan inflasi dan memperpanjang ketidakpastian suku bunga acuan. “Kekhawatiran pasar terhadap ketidakpastian yang ada dapat membuat investor menjadi lebih berhati-hati terhadap instrumen investasi berisiko tinggi seperti aset crypto dan saham,” jelasnya.
Ia juga menambahkan, “Apabila dampak yang akan terjadi lebih mengarah kepada meningkatnya pengangguran dan terjadinya resesi ekonomi, kebijakan pelonggaran seperti dengan menurunkan suku bunga mungkin akan dipertimbangkan oleh The Fed.”
Namun, Fahmi mengingatkan bahwa dampak riil masih bergantung pada reaksi konsumen dan adaptasi pelaku usaha terhadap tarif baru tersebut. Mengingat rekam jejak Trump yang gemar menggunakan kebijakan perdagangan sebagai alat tawar-menawar politik, volatilitas pasar masih akan terus berlanjut dalam waktu dekat.
Meski pasar bergejolak, peluang tetap terbuka bagi investor berpengalaman. “Koreksi dan tekanan yang terjadi saat ini bisa dilihat sebagai peluang buy on weakness bagi investor dengan toleransi risiko tinggi, terlebih tren akumulasi institusi terhadap aset crypto seperti Bitcoin masih terlihat cukup solid,” ungkap Fahmi.
Sebagai contoh, GameStop — perusahaan yang kini mengantongi dana segar senilai hampir US$1,5 miliar — disebut-sebut sedang mempertimbangkan akuisisi Bitcoin sebagai bagian dari strategi diversifikasinya.
Sementara bagi investor ritel dan pemula, strategi seperti dollar cost averaging (DCA) tetap menjadi opsi menarik. Dengan melakukan akumulasi secara bertahap, seperti bulanan, investor bisa memperoleh harga rata-rata pembelian yang lebih rendah saat pasar dalam tekanan.
Fahmi menyarankan fokus pada aset-aset dengan kapitalisasi besar dan likuiditas tinggi, serta memanfaatkan fitur investasi otomatis. “Misalnya di fitur Packs di Reku, investor bisa berinvestasi pada berbagai crypto blue chip dan ETF Saham AS dengan performa terbaik dalam sekali swipe, lengkap dengan sistem rebalancing otomatis,” ujarnya.
Meskipun pasar belum sepenuhnya mencerminkan dampak jangka panjang kebijakan ini, ketegangan global yang terus memanas dan respons balasan dari negara mitra dagang akan menjadi faktor kunci yang diawasi pelaku pasar. Di tengah ketidakpastian ini, investor dituntut lebih cermat dalam membaca arah pergerakan ekonomi dan gejolak politik internasional. ■