
Layanan Buy Now Pay Later (BNPL) atau lebih dikenal sebagai paylater telah mengalami pertumbuhan pesat di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Awalnya, layanan ini didominasi oleh perusahaan fintech seperti Akulaku, Kredivo, dan Indodana yang memanfaatkan teknologi digital untuk memberikan kredit instan kepada konsumen. Namun, seiring dengan meningkatnya popularitas dan permintaan atas paylater, perbankan mulai masuk ke industri ini dengan menawarkan produk serupa, tetapi dengan suku bunga yang lebih rendah dan jaringan pelanggan yang lebih luas.
- Bank memiliki keunggulan dalam biaya dana yang lebih rendah dan jaringan pelanggan yang lebih luas, memungkinkan mereka untuk menawarkan suku bunga lebih kompetitif dan menjangkau pasar yang lebih besar. Sementara itu, fintech unggul dalam kecepatan persetujuan kredit dan fleksibilitas dalam menargetkan pengguna yang belum memiliki riwayat kredit.
- Persaingan antara bank dan fintech semakin ketat, dengan prediksi bahwa keduanya akan berkolaborasi lebih banyak dalam layanan paylater. Bank dapat memanfaatkan teknologi digital fintech sambil tetap mengontrol aspek keuangan dan manajemen risiko, seperti yang dilakukan oleh Bank BRI dan Kredivo.
- Bisnis paylater diproyeksikan akan terus tumbuh, dengan prediksi pertumbuhan 30% hingga akhir 2025. Namun, persaingan dan ekspansi layanan akan diikuti dengan regulasi yang lebih ketat dari OJK dan Bank Indonesia, untuk memastikan perlindungan konsumen dan transparansi biaya.
Pada 2024, persaingan antara bank dan fintech dalam bisnis paylater semakin ketat. Bank-bank besar seperti Bank Central Asia (BCA) dan Bank Mandiri telah meluncurkan layanan paylater mereka sendiri, berusaha mengambil pangsa pasar yang sebelumnya dikuasai oleh perusahaan fintech. PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BTN) berencana untuk meluncurkan layanan paylater mereka pada kuartal pertama 2025, kemudian yang terakhir Bank Sampoerna.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga mencatat peningkatan signifikan dalam kredit paylater oleh bank dan perusahaan pembiayaan, dengan nilai transaksi paylater mencapai Rp21,77 triliun pada November 2024, naik 42,68% secara tahunan (year-on-year). Sementara itu, piutang pembiayaan paylater oleh perusahaan multifinance juga naik menjadi Rp8,59 triliun, tumbuh 61,90% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Bank vs. fintech
Bank memiliki keunggulan dalam biaya dana (cost of fund) yang lebih rendah dibandingkan fintech, sehingga mereka dapat menawarkan suku bunga yang lebih kompetitif. Bank misalnya, menawarkan bunga paylater sekitar 12% per tahun, jauh lebih rendah dibandingkan bunga fintech yang bisa mencapai 24-36% per tahun.
Selain itu, bank memiliki basis nasabah yang lebih besar, terutama dari pengguna kartu kredit dan produk perbankan lainnya. Dengan jaringan cabang fisik yang luas serta layanan digital yang semakin berkembang, bank dapat menjangkau segmen pasar yang lebih luas, termasuk masyarakat yang belum pernah menggunakan layanan paylater sebelumnya.
Bank memiliki keunggulan dalam biaya dana (cost of fund) yang lebih rendah dibandingkan fintech, sehingga mereka dapat menawarkan suku bunga yang lebih kompetitif. Bank misalnya, menawarkan bunga paylater sekitar 12% per tahun, jauh lebih rendah dibandingkan bunga fintech yang bisa mencapai 24-36% per tahun.
Namun jangan sepelekan fintech. Fintech fintech tetap unggul dalam kecepatan persetujuan kredit, di mana pengguna bisa mendapatkan limit paylater hanya dalam beberapa menit tanpa perlu melalui proses verifikasi yang panjang seperti di bank. Selain itu, fintech juga lebih fleksibel dalam menentukan segmen pasar, termasuk pengguna yang belum memiliki riwayat kredit (thin file customers).
Dengan semakin berkembangnya ekosistem digital, fintech juga telah membangun kemitraan strategis dengan berbagai platform e-commerce, aplikasi transportasi, dan marketplace untuk meningkatkan transaksi menggunakan layanan paylater mereka.
Bank dan fintech memiliki keunggulan dan tantangan masing-masing dalam bisnis paylater. Dari sisi kecepatan persetujuan kredit, fintech jauh lebih unggul karena dapat menyetujui pengajuan dalam hitungan menit tanpa proses verifikasi yang panjang seperti di bank. Sebaliknya, bank memerlukan proses lebih lama karena harus melakukan pengecekan melalui BI Checking dan prosedur KYC yang lebih ketat.
Dalam hal suku bunga, bank lebih kompetitif dibandingkan fintech. Bank dapat menawarkan bunga lebih rendah, sekitar 1%-1,5% per bulan atau 12% per tahun, karena memiliki sumber dana murah dari deposito dan tabungan nasabah. Sementara itu, fintech sering kali membebankan bunga yang lebih tinggi, berkisar antara 2%-3% per bulan atau 24%-36% per tahun, karena bergantung pada modal ventura atau pinjaman dari institusi keuangan lain.
Dari sisi aksesibilitas, fintech memiliki keunggulan karena dapat melayani masyarakat yang belum memiliki riwayat kredit (thin file customers). Sementara itu, bank cenderung lebih selektif dalam memberikan limit paylater karena harus mempertimbangkan rasio kredit bermasalah (Non-Performing Loan atau NPL).
Kepercayaan konsumen terhadap bank juga lebih tinggi karena mereka memiliki rekam jejak panjang dalam industri keuangan dan berada di bawah pengawasan ketat OJK dan Bank Indonesia. Sementara itu, fintech masih menghadapi tantangan dalam membangun kepercayaan, terutama di kalangan pengguna yang belum familiar dengan layanan keuangan digital atau yang pernah mengalami pengalaman buruk akibat pinjaman online ilegal.
Dari sisi aksesibilitas, fintech memiliki keunggulan karena dapat melayani masyarakat yang belum memiliki riwayat kredit (thin file customers). Sementara itu, bank cenderung lebih selektif dalam memberikan limit paylater karena harus mempertimbangkan rasio kredit bermasalah (Non-Performing Loan atau NPL).
Ekosistem digital juga menjadi faktor penting dalam persaingan ini. Fintech lebih dulu terintegrasi dengan e-commerce, platform transportasi, dan layanan digital lainnya, sehingga memudahkan pengguna untuk melakukan transaksi dengan paylater. Namun, bank mulai mengejar ketertinggalan dengan menghadirkan super-apps dan layanan digital yang lebih canggih.
Dengan berbagai faktor ini, persaingan antara bank dan fintech dalam layanan paylater ditahun-tahun mendatang akan semakin ketat, dan masing-masing pihak harus terus berinovasi agar tetap relevan di pasar yang terus berkembang.
Tren dan prediksi bisnis paylater
Lantas, seperti apa sih tren dan prediksi bisnials paylater di 2025? Berdasarkan data yang ada, berikut beberapa prediksi untuk bisnis paylater di Indonesia pada tahun 2025:
Pertama, Pefindo Biro Kredit (IdScore) memproyeksikan bisnis paylater terus meningkat, bahkan pertumbuhannya mencapai 30% hingga akhir 2025. Hal ini tentunya didorong penetrasi digital yang lebih luas, peningkatan literasi keuangan, serta kemudahan akses ke layanan kredit tanpa kartu.
Kedua, persaingan antara bank dan fintech bisa berubah menjadi kemitraan strategis. Bank mungkin akan lebih banyak berkolaborasi dengan fintech dalam penyediaan layanan paylater, memanfaatkan keunggulan teknologi digital yang dimiliki fintech sambil tetap mengontrol aspek keuangan dan manajemen risiko. Contoh kolaborasi yang sudah terjadi adalah Bank BRI yang menggandeng Kredivo dalam penyaluran kredit konsumtif berbasis digital. Model ini bisa menjadi tren yang lebih umum di tahun 2025.
Ketiga, regulasi yang lebih ketat. OJK dan Bank Indonesia kemungkinan akan menerapkan regulasi yang lebih ketat untuk layanan paylater, terutama terkait perlindungan konsumen, transparansi biaya, dan mitigasi risiko kredit macet. Hal ini penting karena banyak pengguna yang belum memahami sepenuhnya konsekuensi dari penggunaan paylater, seperti beban bunga yang tinggi dan denda keterlambatan.
Lantas, pertanyaannya, siapa yang akan memenangkan pertarungan? Baik bank maupun fintech memiliki keunggulan masing-masing dalam bisnis paylater. Bank memiliki kekuatan dalam biaya dana yang lebih rendah dan tingkat kepercayaan yang lebih tinggi, sementara fintech unggul dalam fleksibilitas dan kecepatan proses.
Keempat, ekspansi layanan paylater ke sektor baru. Saat ini, paylater umumnya digunakan untuk pembelian produk di e-commerce, tiket perjalanan, dan tagihan utilitas. Namun, di tahun 2025, layanan ini diprediksi akan meluas ke sektor lain, seperti pendidikan (pembayaran biaya sekolah dan kursus online), kesehatan (pembayaran layanan medis dengan sistem cicilan), properti dan kendaraan (pembayaran DP dengan skema paylater) dan bahkan beberapa fintech telah mulai menawarkan layanan paylater untuk investasi dalam bentuk cicilan pembelian emas atau reksa dana.
Lantas, pertanyaannya, siapa yang akan memenangkan pertarungan? Baik bank maupun fintech memiliki keunggulan masing-masing dalam bisnis paylater. Bank memiliki kekuatan dalam biaya dana yang lebih rendah dan tingkat kepercayaan yang lebih tinggi, sementara fintech unggul dalam fleksibilitas dan kecepatan proses.
Namun, melihat tren yang ada, bank memiliki peluang lebih besar untuk mendominasi pasar paylater di 2025 karena mereka dapat menawarkan bunga yang lebih rendah dan akses yang lebih luas bagi masyarakat.
Bagi fintech, tantangan terbesar adalah bagaimana mempertahankan daya saing dengan tetap menawarkan inovasi layanan, pengalaman pengguna yang lebih baik, serta membangun kemitraan strategis dengan bank dan e-commerce untuk meningkatkan penggunaan layanan mereka.
Nah, pada akhirnya, konsumen akan menjadi pihak yang paling diuntungkan, karena semakin banyak pilihan layanan paylater yang tersedia dengan suku bunga yang lebih kompetitif dan ekosistem yang semakin luas. ■
*) Deddy H. Pakpahan, senior editor digitalbank.id.