Menanti ‘aturan main’ OJK soal adopsi teknologi AI di industri perbankan

- 25 Juli 2024 - 17:31

INDUSTRI PERBANKAN GLOBAL saat ini sedang mengalami perubahan radikal yang didorong kekuatan transformatif teknologi kecerdasan buatan (AI). Berbekal AI, pengalaman perbankan bukan lagi berkutat pada bagaimana mengantisipasi kebutuhan nasabah. Lebih dari itu, bank harus mampu menawarkan panduan keuangan yang dipersonalisasi dan melindungi aset nasabah dengan kewaspadaan yang tak tergoyahkan. Realitas inilah yang kini dibentuk AI, dan itu tengah terjadi saat ini di seluruh industri jasa keuangan, tak cuma bank.

AI mampu mengotomatisasi tugas-tugas membosankan yang dulunya menghabiskan sumber daya manusia, menganalisis tumpukan data yang sebelumnya tidak dapat diakses, dan membuat keputusan rumit dengan akurasi yang terus meningkat. Apa outputnya? Tak lain adalah pengalaman finansial yang lebih lancar, lebih aman, dan secara keseluruhan menjadi lebih cerdas.

Banyak riset Riset memberikan beberapa wawasan yang berguna dalam mengoptimalkan adopsi AI dalam industri perbankan. Misalnya, sebuah studi dari Stanford University menemukan bahwa adopsi AI oleh bank-bank di AS menghasilkan peningkatan efisiensi hingga 20% dan penurunan biaya hingga 22%. Studi lain dari Accenture menemukan bahwa AI dapat meningkatkan pengalaman nasabah, meningkatkan produktivitas, dan mengurangi risiko operasional.

Data-data ini membuktikan potensi besar yang dimiliki AI dalam industri perbankan. Namun, untuk mengoptimalkan manfaat tersebut, bank harus melakukan persiapan yang matang, memperhatikan aspek regulasi dan kepatuhan, serta memitigasi risiko yang mungkin muncul. Hanya dengan pendekatan yang komprehensif dan berdasarkan pada penelitian dan praktik terbaik, bank akan dapat memanfaatkan teknologi AI dengan maksimal untuk meningkatkan layanan, efisiensi, dan pengalaman nasabah.

Adopsi AI menjadi hal yang signifikan dalam industri perbankan. Pertanyaannya, bagaimana seharusnya bank mengadopsi AI, apa saja yang harus dipersiapkan dan diantisipasi, serta bagaimana bank dapat memitigasi risiko yang mungkin muncul dari adopsi teknologi ini?

Data-data ini membuktikan potensi besar yang dimiliki AI dalam industri perbankan. Namun, untuk mengoptimalkan manfaat tersebut, bank harus melakukan persiapan yang matang, memperhatikan aspek regulasi dan kepatuhan, serta memitigasi risiko yang mungkin muncul. Hanya dengan pendekatan yang komprehensif dan berdasarkan pada penelitian dan praktik terbaik, bank akan dapat memanfaatkan teknologi AI dengan maksimal untuk meningkatkan layanan, efisiensi, dan pengalaman nasabah.

Pertama, bank perlu memiliki pemahaman yang kuat tentang AI dan potensi yang dimilikinya dalam meningkatkan kinerja dan layanan perbankan. Pemahaman ini harus dimulai dari tingkat paling atas, yaitu manajemen bank, hingga ke tingkat yang lebih teknis seperti tim IT dan data scientist.

Bank harus menyadari bahwa AI bukanlah ‘solusi ajaib’ yang dapat langsung mengatasi semua masalah, tetapi lebih pada suatu alat yang dapat membantu dalam memproses data besar, menganalisis tren, dan memberikan saran cerdas untuk pengambilan keputusan.

Langkah selanjutnya, bank harus mempersiapkan infrastruktur dan sumber daya yang dibutuhkan untuk mengadopsi teknologi AI dengan maksimal. Ini meliputi investasi dalam perangkat keras (hardware) yang memadai, konektivitas jaringan yang stabil, serta perangkat lunak (software) AI yang tepat dan berkualitas tinggi.

Selain itu, bank juga harus memiliki tim yang terlatih dan berkualitas tinggi dalam mengelola dan mengimplementasikan teknologi AI. Tim ini harus memiliki pengetahuan dan keterampilan yang cukup dalam bidang data science, statistik, pemodelan, dan pemrograman AI.

Pada tahap implementasi, bank harus memiliki rencana yang matang untuk mengadopsi teknologi AI. Rencana ini harus mencakup langkah-langkah yang jelas tentang bagaimana AI ingin diterapkan dan diintegrasikan dalam operasional perbankan. Misalnya, bank dapat mulai dengan memfokuskan AI pada area tertentu, seperti manajemen risiko, pemasaran, customer service, atau analisis data nasabah. Selanjutnya, bank dapat secara bertahap memperluas penggunaan AI ke area lain sesuai dengan kebutuhan dan potensi manfaat yang diperoleh.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kabarnya tengah menyusun aturan main terkait hal ini. Aturan yang nantinya akan dikeluarkan OJK diharapkan dapat memberikan pedoman yang jelas kepada bank dengan mengatur data, kebijakan privasi, transparansi, dan keamanan terkait penggunaan AI. Dalam konteks ini, bank juga perlu memastikan bahwa AI yang digunakan mematuhi semua standar dan peraturan yang berlaku.

Selain persiapan teknis, bank juga harus memperhatikan aspek regulasi dan kepatuhan terkait dengan adopsi AI. Sebagai teknologi yang relatif baru dan kompleks, penggunaan AI dalam perbankan perlu mempertimbangkan regulasi dan kepatuhan yang berlaku.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kabarnya tengah menyusun aturan main terkait hal ini. Aturan yang nantinya akan dikeluarkan OJK diharapkan dapat memberikan pedoman yang jelas kepada bank dengan mengatur data, kebijakan privasi, transparansi, dan keamanan terkait penggunaan AI. Dalam konteks ini, bank juga perlu memastikan bahwa AI yang digunakan mematuhi semua standar dan peraturan yang berlaku.

Saat bank memutuskan mengadopsi teknologi AI, sebenarnya ada risiko-risiko yang harus diantisipasi dan diminimalkan. Beberapa risiko yang mungkin timbul dari adopsi AI antara lain:

Pertama, adanya kekhawatiran privasi dan keamanan data. Penggunaan AI, terutama dalam hal analisis data nasabah, dapat meningkatkan risiko privasi dan keamanan data. Bank harus memastikan bahwa data yang dikumpulkan, diolah, dan disimpan dengan teknologi AI tetap aman dan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Bank juga harus memastikan bahwa kebijakan privasi yang tepat telah diterapkan dan bahwa nasabah memiliki kontrol penuh atas data pribadi mereka.

Kedua, soal bias dan diskriminasi. AI dapat memanfaatkan data historis dan tren yang ada untuk membuat prediksi dan keputusan. Namun, jika data yang digunakan memiliki bias atau diskriminasi tertentu, AI juga akan mencerminkan bias tersebut. Oleh karena itu, bank perlu melakukan pengawasan terus-menerus terhadap proses AI mereka, serta melakukan pemeriksaan dan pengujian secara berkala untuk memastikan bahwa AI tidak menghasilkan perbedaan perlakuan yang tidak adil atau diskriminatif terhadap nasabah.

Untuk memitigasi risiko-risiko ini, bank perlu menerapkan praktik yang baik dalam penggunaan teknologi AI. Ini termasuk pengujian dan evaluasi yang komprehensif terhadap model AI yang digunakan, pemantauan dan pengawasan yang konstan terhadap operasi AI, serta pelatihan dan pengembangan terus-menerus bagi tim yang bertanggung jawab atas AI tersebut.

Ketiga, kepercayaan dan pemahaman nasabah. Adopsi teknologi AI dapat mempengaruhi kepercayaan dan pemahaman nasabah. Bank harus berkomunikasi secara transparan kepada nasabah mengenai penggunaan AI dan manfaatnya, serta menjelaskan bagaimana data nasabah akan digunakan dan dilindungi. Nasabah juga perlu diberikan informasi mengenai hak-hak mereka dalam hal kontrol dan akses terhadap data pribadi mereka.

Untuk memitigasi risiko-risiko ini, bank perlu menerapkan praktik yang baik dalam penggunaan teknologi AI. Ini termasuk pengujian dan evaluasi yang komprehensif terhadap model AI yang digunakan, pemantauan dan pengawasan yang konstan terhadap operasi AI, serta pelatihan dan pengembangan terus-menerus bagi tim yang bertanggung jawab atas AI tersebut.

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae pernah mengatakan pemanfaatan AI oleh perbankan telah dilakukan pada beberapa bidang seperti otomasi pekerjaan untuk chatbot atau voice assistant, document processing, transaction monitoring, mendeteksi fraud dan money laundering, serta decision engine dalam membantu proses credit scoring.

Pemanfaatan AI tersebut, menurutnya, membawa pengaruh positif pada operasional bisnis bank, khususnya dalam peningkatan efisiensi akibat otomatisasi pekerjaan. Namun demikian, potensi penyalahgunaan AI yang dapat merugikan konsumen bank cukup tinggi.

Adapun, beberapa risiko AI yang teridentifikasi antara lain bias algoritma, deepfakes, dan kemampuan membuat keputusan sendiri. Meskipun AI dapat membawa manfaat signifikan, industri perbankan di Indonesia perlu memahami mekanisme kerja AI agar dapat dimanfaatkan secara luas dengan tetap mengantisipasi risiko yang mungkin timbul.

OJK sendiri telah menerbitkan Blueprint Transformasi Digital di mana dalam salah satu pilarnya terdapat dorongan untuk penggunaan teknologi seperti AI pada bank. Dalam kerangka Blueprint Transformasi Digital, bank diharapkan dapat melakukan tata kelola dan manajemen risiko TI yang baik dalam proses adopsi teknologi tersebut.

OJK juga telah menerbitkan Peraturan OJK (POJK) No.11/2022 tentang Penyelenggaraan Teknologi Informasi Oleh Bank Umum dan POJK No.21/2023 tentang Layanan Digital oleh Bank Umum. Dalam ketentuan tersebut, telah diatur bahwa bank dalam melakukan adopsi teknologi mesti dilakukan secara bertanggung jawab.

Untuk memastikan bahwa penerapan AI oleh perbankan dilakukan secara bertanggung jawab, adil, transparan, dan mematuhi nilai-nilai etika, saat ini OJK sedang menyusun panduan tata kelola AI untuk perbankan.

Sebagai regulator jasa keuangan, OJK memang sudah seharusnya mengatur adopsi AI di industri perbankan dengan mengedepankan prinsip keamanan, transparansi, dan kepatuhan hukum yang meliputi:

Pertama, pedoman penyelenggaraan AI. ‘Aturan main’ yang akan dikeluarlan OJK seyogyanya menjadi pedoman yang jelas tentang penggunaan AI di sektor perbankan, termasuk persyaratan teknis, manajemen risiko, dan tata kelola yang harus dipatuhi oleh bank-bank yang menggunakan teknologi AI.

Kedua, pengawasan dan audit. OJK perlu memperkuat mekanisme pengawasan dan audit terkait penggunaan AI di sektor perbankan untuk memastikan bahwa teknologi tersebut digunakan secara benar, aman, dan sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Ketiga, transparansi dan akuntabilitas. Aturan yang dibuat OJK harus mampu mendorong bank-bank untuk memberikan transparansi yang cukup kepada nasabah terkait dengan penggunaan AI dalam layanan perbankan mereka. Selain itu, bank-bank juga harus bertanggung jawab atas keputusan yang diambil oleh sistem AI mereka.

Keempat, pelatihan dan sertifikasi. OJK dapat memperkuat kerja sama dengan lembaga-lembaga pendidikan dan industri untuk menyelenggarakan program pelatihan dan sertifikasi bagi para profesional perbankan yang terlibat dalam pengembangan dan penerapan teknologi AI.

Masa depan layanan keuangan memang akan didukung oleh AI. Namun, itu semua ‘diciptakan’ oleh manusia. Seiring dengan terus berkembangnya AI, kita dapat mengharapkan solusi yang lebih inovatif yang meningkatkan kesejahteraan dan keamanan finansial. Tapi, kita semua mesti ingat bahwa AI adalah sebuah alat, dan seperti alat lainnya, efektivitasnya bergantung pada pengembangan yang bertanggung jawab dan penggunaan yang etis.

Saat ini, beberapa regulator jasa keuangan di negara-negara seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Eropa, dan Amerika Serikat juga telah mengeluarkan aturan terkait penggunaan AI di sektor keuangan. Mengingat urgensi ‘aturan main’ dalam adopsi AI di industri perbankan di Indonesia, tentu kita mengharapkan aturan tersebut bisa segera dikeluarkan.

Masa depan layanan keuangan memang akan didukung oleh AI. Namun, itu semua ‘diciptakan’ oleh manusia. Seiring dengan terus berkembangnya AI, kita dapat mengharapkan solusi yang lebih inovatif yang meningkatkan kesejahteraan dan keamanan finansial. Tapi, kita semua mesti ingat bahwa AI adalah sebuah alat, dan seperti alat lainnya, efektivitasnya bergantung pada pengembangan yang bertanggung jawab dan penggunaan yang etis.

Seperti pernah dikatakan Oren Etzioni, CEO Allen Institute for Artificial Intelligence, “AI is a tool. The choice about how it gets deployed is ours.” Ya! AI adalah sebuah alat. Pilihan mengenai cara penerapannya ada di tangan kita. ■

*) Deddy H. Pakpahan, senior editor digitalbank.id

Comments are closed.