Regulasi AI Indonesia, peluang emas atau ancaman PHK massal?

- 29 Juni 2024 - 09:00

Hasil kajian dari Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (ELSAM) yang disampaikan dalam diskusi publik “Menyiapkan Regulasi AI yang Bertanggungjawab dan Terpercaya untuk Indonesia” yang diadakan Bisnis Indonesia pada 26 Juni 2024 lalu, menggarisbawahi kebutuhan mendesak untuk regulasi kecerdasan buatan (AI) yang lebih komprehensif di Indonesia.

ELSAM menyerahkan rekomendasi kebijakan tata kelola AI kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), yang mencakup berbagai aspek mulai dari definisi hingga sanksi. ELSAM berharap rekomendasi tersebut dapat menjadi masukan dalam penyusunan Peraturan Menteri (Permen) AI yang ditargetkan rampung tahun ini.

Direktur Eksekutif ELSAM Wahyudi Djafar menyatakan bahwa ELSAM berupaya mendorong regulasi yang menyeluruh mengenai AI. Mereka mengusulkan adanya definisi AI yang lebih konkret dan selaras dengan perkembangan regulasi AI global, termasuk dengan mengidentifikasi aktor-aktornya.

Saat ini, definisi AI yang tercantum dalam surat edaran (SE) masih terbatas, sehingga perlu ada definisi yang lebih jelas. Hasil rekomendasi ELSAM menjelaskan bahwa aktor AI terbagi menjadi tiga, yaitu penyedia, pengguna bagian dari penyelenggara sistem elektronik (PSE) baik publik maupun privat, dan masyarakat.

Ketiganya memiliki gradasi tanggung jawab terkait dengan penggunaan AI, mulai dari yang berisiko tinggi hingga berisiko rendah. Risiko tinggi meliputi pemrosesan data seperti biometrik atau pengambilan keputusan serius yang berdampak signifikan pada individu. Kewajiban tambahan diberikan kepada aktor AI yang berisiko tinggi.

ELSAM juga mengusulkan adanya regulatory sandbox, yang memberikan ruang lebih luas untuk pemanfaatan AI di Indonesia. Dengan usulan tersebut, diharapkan regulasi yang diciptakan tidak membatasi inovasi, tetapi justru memfasilitasi pemanfaatan AI.

Dalam konteks AI, usulan ELSAM juga memperjelas peran pemerintah dan masyarakat. Selain itu, mereka mencantumkan mengenai sanksi administratif bagi pihak yang tidak memenuhi kewajiban, seperti peringatan dan penghentian sementara, tanpa adanya denda yang berat, mengingat regulasi ini masih dalam tahap pengembangan.

ELSAM juga mengusulkan adanya regulatory sandbox, yang memberikan ruang lebih luas untuk pemanfaatan AI di Indonesia. Dengan usulan tersebut, diharapkan regulasi yang diciptakan tidak membatasi inovasi, tetapi justru memfasilitasi pemanfaatan AI.

Rekomendasi ini sangat relevan dan tepat waktu, mengingat adopsi AI yang semakin meluas di berbagai sektor di Indonesia. Namun, meskipun rekomendasi ini merupakan langkah maju yang signifikan, ada dua aspek penting yang perlu diperhatikan lebih lanjut dalam regulasi AI di Indonesia.

Insentif bagi inovator dan startup lokal AI

Pertama, regulasi AI harus mencakup insentif yang mendukung inovator dan startup lokal dalam mengembangkan teknologi AI. Ini sejalan dengan strategi nasional yang dikembangkan oleh BPPT dan KORIKA terkait kedaulatan digital, yang tertuang dalam “Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial Indonesia 2020-2045”.

Dukungan ini bisa berupa pembiayaan, pengurangan pajak, atau bantuan teknis untuk perusahaan rintisan (startup) yang berfokus pada pengembangan AI.

Pentingnya insentif ini tidak bisa diremehkan. Dengan memberikan dukungan konkret kepada inovator lokal, Indonesia dapat membangun ekosistem AI yang kuat dan berdaya saing global. Hal ini juga akan mendorong pertumbuhan ekonomi digital yang lebih inklusif dan berkelanjutan.

Selain itu, insentif ini dapat membantu Indonesia mencapai kedaulatan digital dengan memastikan bahwa teknologi yang digunakan dan dikembangkan di dalam negeri memenuhi kebutuhan dan standar nasional.

Pentingnya insentif ini tidak bisa diremehkan. Dengan memberikan dukungan konkret kepada inovator lokal, Indonesia dapat membangun ekosistem AI yang kuat dan berdaya saing global. Hal ini juga akan mendorong pertumbuhan ekonomi digital yang lebih inklusif dan berkelanjutan.

Hal ini sejalan dengan pernyataan Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika, Nezar Patria, di acara diskusi publik ini, yang menyebutkan bahwa penguatan posisi Indonesia dalam rantai pasok teknologi berbasis kecerdasan artifisial (AI) adalah salah satu cara untuk mengoptimalkan dan memperkuat posisi Indonesia sebagai pengembang inovasi AI yang bersaing secara global.

Kompetisi untuk menjadi pemasok teknologi di rantai pasok semakin memanas di antara negara-negara berkembang, termasuk di kawasan Asia Tenggara seperti Malaysia dan Vietnam, yang juga menarik investasi dari raksasa teknologi global.

Namun, Indonesia tidak bisa hanya fokus pada persaingan sebagai pabrik semikonduktor. Potensi ekonomi besar berikutnya terletak pada pengembangan konten dan inovasi berbasis AI. Indonesia dapat fokus pada pengembangan solusi AI untuk negara berkembang dan Global South. Khususnya, dalam industri kreatif, inklusi teknologi finansial, dan pariwisata, Indonesia memiliki potensi yang sangat besar.

Namun, rekomendasi ini masih kurang memberikan ruang yang cukup terkait pengembangan inovasi lokal. Saat ini, fokus rekomendasi lebih pada mendukung investasi asing. Seharusnya, regulasi bisa lebih bersinergi antara perusahaan asing dan inovasi lokal, memastikan bahwa perusahaan internasional yang berinvestasi di Indonesia juga berkontribusi pada pengembangan kapasitas lokal.

Dengan memaksimalkan potensi ini, Indonesia dapat menjadi pemimpin dalam menyediakan solusi AI yang inovatif dan relevan bagi pasar negara berkembang. Rekomendasi yang dibuat ELSAM sangat bagus karena sudah menunjukkan dukungan terhadap inovasi dan investasi.

Namun, rekomendasi ini masih kurang memberikan ruang yang cukup terkait pengembangan inovasi lokal. Saat ini, fokus rekomendasi lebih pada mendukung investasi asing. Seharusnya, regulasi bisa lebih bersinergi antara perusahaan asing dan inovasi lokal, memastikan bahwa perusahaan internasional yang berinvestasi di Indonesia juga berkontribusi pada pengembangan kapasitas lokal. Ini bisa dilakukan dengan mendorong kolaborasi antara perusahaan asing dan startup lokal, serta memastikan adanya transfer teknologi dan pengetahuan yang bermanfaat bagi ekosistem inovasi di Indonesia.

Perlindungan pekerja dari dampak AI

Kedua, regulasi AI harus memperhatikan isu penggantian pekerja oleh teknologi AI. Data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa 9,89 juta generasi Z di Indonesia menganggur pada tahun 2024. Adopsi teknologi AI yang tidak diatur dengan baik bisa memperburuk situasi ini, menyebabkan lebih banyak orang kehilangan pekerjaan.

Banyak raksasa teknologi, seperti Google, IBM, dan BT Group, telah mulai menggunakan AI untuk menggantikan peran manusia, yang menyebabkan gelombang PHK di berbagai sektor. Menurut studi Goldman Sachs, AI bisa berdampak pada 300 juta pekerjaan di seluruh dunia, menyebabkan disrupsi signifikan di pasar tenaga kerja, PHK massal di mana-mana. Misalnya, pekerjaan di bidang teknologi seperti programmer, software engineer, dan data analyst sangat rentan digantikan oleh AI yang mampu mengelola dan menganalisis data lebih cepat dan akurat.

Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa inovasi AI di Indonesia diarahkan bukan untuk menggantikan pekerja, melainkan untuk menyelesaikan permasalahan kesenjangan yang ada saat ini, seperti dalam bidang telehealth, edukasi, dan sektor-sektor lain yang sering mengalami kesalahan dan inefisiensi akibat human error.

AI memiliki potensi besar untuk meningkatkan akses dan kualitas layanan kesehatan melalui telehealth, memungkinkan pasien di daerah terpencil untuk mendapatkan perawatan medis yang mereka butuhkan tanpa harus melakukan perjalanan jauh.

Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa inovasi AI di Indonesia diarahkan bukan untuk menggantikan pekerja, melainkan untuk menyelesaikan permasalahan kesenjangan yang ada saat ini, seperti dalam bidang telehealth, edukasi, dan sektor-sektor lain yang sering mengalami kesalahan dan inefisiensi akibat human error.

Dalam bidang pendidikan, AI dapat menyediakan alat bantu belajar yang dipersonalisasi, membantu guru dan siswa untuk mencapai hasil yang lebih baik. Selain itu, AI dapat digunakan untuk mengurangi kesalahan manusia di berbagai industri, meningkatkan efisiensi dan keamanan operasional.

Dorongan inovasi inklusi keuangan juga harus menjadi prioritas dalam regulasi AI. Inovasi ini dapat membantu masyarakat menengah bawah mengakses permodalan dengan lebih mudah dan murah tanpa syarat yang rumit.

Permodalan menjadi isu krusial untuk mendorong kewirausahaan, terutama bagi mereka yang terdampak otomasi, dan digantikan AI. Dengan memanfaatkan AI, layanan keuangan dapat menjadi lebih inklusif, dan menjangkau mereka yang sebelumnya tidak terlayani oleh sistem keuangan tradisional di kelompok kelas menengah bawah, yang juga sangat rentan pekerjaannya digantikan oleh AI.

Untuk mencapai tujuan ini, diperlukan kemitraan publik-swasta (public-private partnership) yang kuat untuk program reskilling. Perusahaan yang menggantikan pekerja dengan otomatisasi dan AI harus bertanggung jawab untuk membekali karyawan terdampak dengan keterampilan baru dan mindset kewirausahaan. Ini penting agar para pekerja dapat memahami bagaimana mereka bisa menciptakan nilai tambah dan menghasilkan sumber daya dari keterampilan baru mereka.

Pemerintah harus mengambil langkah-langkah proaktif untuk melindungi pekerja dengan mengimplementasikan program pelatihan ulang (reskilling) dan pengembangan keterampilan baru (upskilling) yang membantu pekerja beradaptasi dengan perubahan teknologi. Selain itu, kebijakan jaring pengaman sosial harus diperkuat untuk mendukung pekerja yang kehilangan pekerjaan akibat otomatisasi.

Rekomendasi dari ELSAM yang disampaikan dalam diskusi publik pada 26 Juni 2024 sangat bagus karena menunjukkan dukungan terhadap inovasi dan investasi. Namun, rekomendasi ini belum menyentuh isu krusial terkait perlindungan pekerja yang terdampak oleh otomatisasi AI.

Pemerintah harus mengambil langkah-langkah proaktif untuk melindungi pekerja dengan mengimplementasikan program pelatihan ulang (reskilling) dan pengembangan keterampilan baru (upskilling) yang membantu pekerja beradaptasi dengan perubahan teknologi.

Oleh karena itu, penting bagi penulis menambahkan ini sebagai diskursus publik agar regulasi yang dibuat kontekstual dengan kebutuhan Indonesia. Dengan pendekatan yang komprehensif ini, transformasi digital yang didorong oleh AI tidak hanya mengurangi kesenjangan yang ada, tetapi juga menciptakan peluang baru yang inklusif dan berkelanjutan bagi seluruh masyarakat.

Penting juga untuk memastikan bahwa inovasi lokal mendapatkan dukungan yang cukup, sehingga Indonesia tidak hanya menjadi pasar bagi teknologi asing tetapi juga menjadi produsen yang kuat dalam ekosistem AI global. Dengan demikian, Indonesia dapat mencapai kedaulatan digital dan memastikan bahwa teknologi yang digunakan dan dikembangkan di dalam negeri memenuhi kebutuhan dan standar nasional.

Melalui regulasi yang tepat dan dukungan yang menyeluruh, Indonesia dapat memanfaatkan potensi AI untuk menciptakan solusi inovatif yang mengatasi masalah nyata di masyarakat, sambil memastikan bahwa pekerja dilindungi dan diberdayakan dalam menghadapi era otomatisasi.

Menuju regulasi AI yang lebih holistik

Regulasi AI yang komprehensif harus mencakup tidak hanya aspek teknis dan etis, tetapi juga dukungan ekonomi dan sosial. Dengan memasukkan insentif bagi inovator lokal dan perlindungan bagi pekerja, Indonesia dapat memastikan bahwa perkembangan teknologi AI tidak hanya menguntungkan secara ekonomi, tetapi juga adil dan inklusif.

Kesimpulannya, rekomendasi dari ELSAM merupakan langkah awal yang baik, namun perlu diperluas untuk mencakup dua aspek penting ini. Dengan demikian, regulasi AI di Indonesia dapat mendukung kedaulatan digital dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan, menjadikan Indonesia sebagai pemimpin dalam inovasi teknologi yang bertanggung jawab bagi negara berkembang dan Global South. ■

*) Tuhu Nugraha, pengamat teknologi, principal IADERN.

Ilustrasi: Feedzei

Comments are closed.