Desa digital, petani milenial dan tantangan membangun infrastruktur di pelosok

- 31 Maret 2022 - 19:41

digitalbank.id – DALAM sebuah acara panen raya padi di Kabupaten Karawang akhir tahun lalu, Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil dengan bangga memperkenalkan aplikasi khusus di smartphone yang bisa digunakan para petani milenial. “Dengan aplikasi tersebut, produksi pertanian dan perikanan dapat meningkat dan menambah kesejahteraan perekonomiannya,” ujarnya berseri-seri.

Gubernur yang akrab dipanggil kang Emil ini lantas mencontohkan, saat ini para petani ikan di Indramayu memberi makan ikan lele sudah menggunakan telepon selular. Nelayan di Pelabuhan Ratu cari ikan sudah pakai aplikasi fishfinder dengan hasil tangkapan berkali lipat, yang biasa perahu kecil hanya dpt 300 kg kini bisa mencapai 1 ton. Di Lembang nyebor tanaman juga sudah pakai telepon selular.

“Adaptasi pemanfaatan teknologi digital seperti itulah yang akan terus kami kembangkan di Jawa Barat. Sebab, dengan menggunakan teknologi digital tersebut, dapat mengubah hidup masyarakat Jawa Barat menjadi lebih sejahtera. Dan dengan adanya teknologi internet, maka petani juga bisa promosi dan menjual produknya lebih mudah kepada masyarakat,” tegas Emil.

Dapat dipastikan beberapa kisah sukses petani di Karawang ini tidak lepas dari dukungan Lintasarta. Perusahaan Information and Communication Technology (ICT) total solution di Indonesia telah memberi dukungan penuh terhadap program Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat dalam mengatasi kesenjangan arus informasi digital melalui Program Desa Digital di Jawa Barat.

Keikutsertaan Lintasarta dalam pelaksanaan program Desa Digital di Jawa Barat melalui penyediaan infrastruktur dan jaringan internet di lebih dari 140 desa yang tersebar di 15 kabupaten di Jawa Barat.

“Program ini berkelanjutan, dukungan tidak hanya penyediaan infrastruktur tapi juga melalui kegiatan pelatihan kepada kader TIK desa melalui program CSR Lintasarta Mengajar. Pelatihan yang diberikan mulai dari pengetahuan, pembangunan, dan perawatan tower hingga pemanfaatan jaringan internet bagi masyarakat desa,” ujar General Manager Central Indonesia Regional Lintasarta, Choirul Friyuana.

Sebelumnya, para kader juga telah mendapatkan pelatihan mengenai pengembangan website atau Web Development dan pelatihan terkait pemasaran digital atau Digital Marketing mengenai dasar-dasar pemasaran melalui media sosial atau channel digital lain yang mereka miliki mencakup dasar-dasar penulisan, copywriting, teknik dasar fotografi, hingga strategi promosi di media sosial.

“Setelah pelatihan, diharapkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berada di desa mampu mengelola secara mandiri infrastruktur jaringan internet bagi masyarakat termasuk manajemen usaha maupun pemasaran potensi daerah di desa-desa tersebut, selain itu Bumdes/Bumades akan memiliki kemampuan teknis dan non teknis untuk penanganan aduan setelah internet terdistribusi ke masyarakat,” katanya.

Lebih lanjut Choirul menuturkan, dengan memberikan kemudahan akses informasi bagi masyarakat desa melalui teknologi informasi yang terintegrasi dalam pelayanan publik dan kegiatan perekonomian, maka potensi desa diharapkan dapat lebih produktif, efektif, efisien dan signifikan.

Choirul menuturkan, Lintasarta terus melakukan pengembangan konten dan aplikasi yang berkaitan dengan Smart City yang juga dapat mendukung dan memadukan potensi desa mandiri. Menurutnya, pengembangan teknologi informasi melalui aplikasi atau sistem digital untuk segala kegiatan yang dilakukan menyangkut kebutuhan masyarakat diyakini dapat meningkatkan awareness dari pihak eksternal terhadap potensi di wilayah tersebut.

“Maka tolak ukur keberhasilan dari Desa Digital ialah di mana masyarakat dan potensi desa mulai dikenal di luar Jawa Barat, pemanfaatan layanan internet serta fasilitas digital yang ada di desa dengan optimal dan berkesinambungan sehingga meningkatkan kesejahteraan masyarakat, kualitas serta taraf hidup masyarakat desa,” ujarnya.

Oleh karena itu, katanya, seluruh kegiatan yang telah dilakukan dalam pelaksanaan Desa Digital akan dipantau secara berkala bersama Dinas Pengembangan Masyarakat Desa, dan Diskominfo dengan tetap mengawal dan memberikan update pengetahuan terkait perkembangan teknologi maupun literasi digital lainnya. “Dukungan penuh dari seluruh pemangku kepentingan dan antusiasme masyarakat desa saat implementasi pemasangan jaringan menjadi penyemangat untuk kami agar dapat terus ikut berkontribusi dalam pelaksanaan Desa Digital,” katanya.

Mengenai pelaksanaan digitalisasi di daerah, Direktur Utama Lintasarta Arya Damar menegaskan, diperlukan beberapa aspek pendukung. Untuk meningkatkan pembangunan ekonomi daerah dapat dilakukan melalui penggunaan teknologi digital seperti penggunaan QRIS untuk pembayaran tanpa kontak fisik (contactless payment), e-Perizinan, e-Planning, e-UMKM, e-Tourism, dan e-Farmer yang seluruhnya menjadi cerminan dalam penerapan Smart City.

Menurut Arya, kelak sistem kota cerdas ini akan mampu meningkatkan pelayanan dan menjadi alat bantu bagi para pembuat kebijakan (data driven decision making). Konsep Smart City juga mencakup implementasi business intelligence atau big data, melakukan data sharing yang dapat digunakan komunitas pengembang. “Bicara digitalisasi tentu harus secara keseluruhan, mencakup digitalisasi infrastruktur, pemerintah, dan masyarakat. Seluruh pemangku kepentingan harus berkolaborasi untuk memperoleh solusi dalam mengembangkan perekonomian daerah,” kata Arya.

Tantangan di desa 3T

Kisah sukses petani Karawang sangat kontras dengan yang dialami masyarakat di desa 3T (tertinggal, terdepan dan terluar). Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mengungkapkan ada tiga tantangan dalam membangun infrastruktur di wilayah tertinggal, terdepan dan terluar (3T). Ini dinilai menjadi alasan 12 ribu lebih desa belum terakses jaringan internet generasi keempat atau 4G.

Tantangan pertama yakni kondisi geografis di 3T cukup menantang, karena didominasi pegunungan dan akses transportasi yang terbatas. Selain itu, sebagian wilayah belum mendapat pasokan listrik. “Untuk membangun infrastruktur internet di pegunungan Papua, kami butuh satu pesawat helikopter bolak-balik untuk memasang menara,” kata Kepala Divisi Layanan Informasi Bakti Kominfo Ade Dimijanty Sirait.

Ade mengatakan, beban modal untuk membangun sarana internet per lokasi di 3T 1,3 kali lebih tinggi dibandingkan daerah lain. Biaya operasional juga dua kali lebih besar. “Membangun akses internet di daerah terpencil upayanya ekstra dibandingkan wilayah lain,” katanya.

Terakhir, pendapatan yang dihasilkan oleh perusahaan telekomunikasi 10 kali lebih rendah dibandingkan non-3T. “Penghasilannya di bawah rata-rata, setiap membangun infrastruktur di wilayah ini,” katanya. Imbas ketiga kendala itu, ada 12.548 desa yang belum terakses internet 4G. Rinciannya, 9.113 desa masuk 3T, sementara 3.435 lainnya di luar wilayah itu.

Wilayah 3T menjadi tanggung jawab Bakti untuk membangun akses internet menggunakan dana Universal Service Obligation (USO). Ini berasal dari setoran perusahaan telekomunikasi setiap bulan. Sedangkan 3.435 desa di non-3T menjadi tanggung jawab operator seluler untuk menyediakan 4G. Kominfo melalui Bakti menargetkan semua desa terakses internet 4G pada 2022.

Bakti pun berencana membangun 4.000 Base Transceiver Station (BTS), yang separuhnya bakal dibangun di Papua dan Papua Barat pada tahun ini. Menteri Kominfo Johnny G Plate menilai perlu ada kolaborasi antara pemerintah dengan operator seluler agar target tersebut tercapai. “Perusahaan perlu memperkecil disparitas dan pengembangan spektrum untuk kecepatan internet yang merata,” ujarnya.

Johnny juga meminta operator seluler mempertimbangkan pemanfaatan frekuensi dengan skema berbagi spektrum atau spektrum sharing. Ini bertujuan menghemat biaya pengembangan infrastruktur antar-operator. Apalagi, anggaran fiberisasi dan pembangunan infrastruktur di 3T dinilai besar. Berbagi spektrum untuk operator seluler sudah masuk dalam Undang-undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja. Pada pasal 71, diatur tentang berbagi infrastruktur. Bagian ini mengubah Pasal 11, 28, 30, 32, 33, 34, 45, dan 47 UU Telekomunikasi.

Perubahan tersebut memungkinkan pemegang perizinan berusaha untuk bekerja sama dalam menggunakan spektrum frekuensi radio, maupun mengalihkannya. Namun harus dengan izin pemerintah pusat. Selain itu, pemegang perizinan berusaha wajib membayar biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio. Besarannya berdasarkan penggunaan jenis dan lebar pita frekuensinya.

Peran kunci infrastruktur

Peran pembangunan infrastruktur telah banyak dilakukan Lintasarta dan mencatat kemajuan luar biasa. Sebaik dan sekeras apa pun upaya kita membangun desa digital, tanpa didukung infrastruktur internet, maka tak akan berjalan baik. Kemudahan dan kecepatan akses sangat tergantung pada infrastruktur yang ada.

Menurut laporan yang dirilis oleh ICT Institute, secara umum kecepatan internet Indonesia saat ini terendah dibandingkan dengan negara-negara lain. Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi mengatakan laporan Speedtest mengenai kecepatan internet Indonesia memperlihatkan pembangunan internet di Indonesia masih sebatas retorika dan tidak memperlihatkan kondisi sebenarnya di lapangan. Pemerintah Indonesia membutuhkan upaya strategis yang lebih nyata agar kecepatan internet Indonesia meningkat, merata, dan memberikan manfaat nyata bagi masyarakat Indonesia.

“Seperti kita sudah membangun jalan tol internet, yang secara selintas benar sudah membangun, tetapi itu tidak cukup dan kurang nendang bila dilihat hasil speedtest yang rendah dibanding negara lain,” kata Heru. Speedtest Global Index menyebutkan per Desember 2021, rata-rata kecepatan unduh internet bergerak Indonesia hanya 15,44 Mbps. Sebaliknya, kecepatan unggah sebesar 9,16 Mbps dan latensi 28 ms.

Dengan pencapaian tersebut, Indonesia menjadi negara yang paling lemot dalam hal rata-rata kecepatan internet di Asia Tenggara. Indonesia tertinggal dari Kamboja dan Laos. Masing-masing negara memiliki kecepatan internet sebesar 16,37 Mbps dan 24,29 Mbps. Kemudian Malaysia sebesar 25,19 Mbps, Thailand sebesar 32,08 Mbps, Vietnam sebesar 35,20 Mbps, dan Singapura 63,51 Mbps.

Sementara itu untuk kecepatan internet tetap, Indonesia menempati urutan ke-114 atau turun tiga peringkat dengan kecepatan unduh rata-rata sebesar 20,22 Mbps. Heru berpendapat isu mengenai kecepatan internet tidak hanya menjadi perhatian pemerintah Indonesia, tetapi juga negara lain. Hanya saja negara lain mungkin bekerja lebih keras dibanding Indonesia dalam meningkatkan kualitas internet di negara mereka. “Negara lain tidak beretorika tetapi dijalankan langsung,” kata Heru.

Sementara itu, Ketua Bidang Network dan Infrastruktur Indonesian Digital Empowerment Community (Idiec) Ariyanto A. Setyawan berpendapat rendahnya posisi Indonesia dalam hal kecepatan internet disebabkan oleh jumlah operator seluler di Indonesia yang terlalu banyak. Di beberapa negara seperti Amerika Serikat, kata Ariyanto, jumlah operator seluler hanya sekitar tiga operator seluler.

Dengan jumlah yang sedikit maka pemanfaatan spektrum frekuensi sebagai sumber daya alam yang terbatas menjadi maksimal. “Jumlah operator mempengaruhi kecepatan internet yang diberikan,” kata Ariyanto. Tidak hanya itu, Ariyanto juga berpendapat meski secara kecepatan internet lebih rendah, Indonesia memiliki jaringan internet yang lebih merata jika dibandingkan dengan Amerika Serikat. Keterhubungan jaringan internet di Indonesia cukup tinggi, jika dibandingkan dengan Negeri Paman Sam. Begitulah pekerjaan rumah yang akan terus dihadapi oleh Lintasarta, pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan dalam merawat infrastruktur internet di tanah air.(SAF)

 

Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.