
Dominasi dolar AS sebagai mata uang cadangan dunia mulai dipertanyakan oleh para analis dari JPMorgan dan Deutsche Bank, seiring dengan lonjakan harga emas ke rekor tertinggi. Sementara itu, pendiri BitMEX Arthur Hayes memperingatkan bahwa April akan menjadi bulan yang berat bagi Bitcoin karena tekanan dari isu tarif, pembayaran pajak, dan ketidakpastian likuiditas pasar.
Fokus utama:
- Erosi dominasi dolar AS sebagai aset safe haven global di tengah ketidakpastian ekonomi dan geopolitik.
- Rekor tertinggi harga emas sebagai refleksi dari pergeseran preferensi aset cadangan oleh bank sentral dunia.
- Potensi tekanan terhadap Bitcoin di bulan April akibat kombinasi sentimen pasar, kewajiban pajak, dan kebijakan fiskal AS.
Dua bank raksasa dunia, JPMorgan Chase dan Deutsche Bank, mengeluarkan peringatan serius mengenai kemampuan dolar Amerika Serikat (AS) dalam mempertahankan dominasinya di tengah gejolak ekonomi global. Di saat bersamaan, harga emas melesat menembus rekor tertinggi baru, memicu spekulasi adanya perubahan dalam arsitektur moneter dunia.
Survei terbaru Reuters terhadap 69 ahli strategi valuta asing mengungkapkan bahwa sepertiga responden mulai meragukan status dolar sebagai aset lindung nilai (safe haven). Bahkan, 40 persen dari 51 responden yang menjawab pertanyaan lanjutan menyebut bahwa mereka mulai melihat tanda-tanda nyata pelemahan status tersebut—dan tren ini bisa berlanjut dalam jangka panjang.
“Risiko terhadap status dolar mulai muncul,” kata George Saravelos, Kepala Riset FX Global di Deutsche Bank. Ia menambahkan bahwa prospek ekonomi AS yang melemah dan tantangan terhadap stabilitas institusional serta norma hukum internasional membuat investor asing mulai mempertimbangkan kembali alokasi mereka ke dolar.
Pandangan serupa juga disampaikan Arindam Sandilya, Co-Head Strategi FX Global di JPMorgan. Menurutnya, meskipun efek jaringan menjadikan dominasi dolar sulit tergantikan dalam waktu dekat, tren perlahan namun konsisten menuju diversifikasi sudah berjalan lebih dari dua dekade.
“Kita menyaksikan penurunan bertahap kepemilikan dolar dalam cadangan devisa bank sentral, dengan pergeseran menuju aset alternatif seperti emas,” ujarnya.
Harga emas sendiri melonjak ke level tertinggi sepanjang sejarah, menyentuh US$3.167 per ons awal pekan ini. Performa mengesankan ini mendorong sejumlah institusi keuangan besar, termasuk Bank of America dan Citi, merevisi naik target harga logam mulia tersebut hingga mencapai US$3.500 per ons, terutama jika ekonomi AS gagal menjaga momentum pertumbuhannya.
Di tengah sentimen pasar yang tidak menentu, pendiri BitMEX Arthur Hayes memperingatkan bahwa bulan April akan menjadi periode krusial bagi Bitcoin. Ia mengungkapkan bahwa berbagai faktor domestik di AS, mulai dari kebijakan tarif hingga musim pajak, berpotensi menekan harga aset kripto utama itu.
Dalam wawancara dengan kanal YouTube Crypto Banter, Hayes menyoroti pengumuman tarif dari mantan Presiden AS Donald Trump pada 2 April lalu yang sempat memicu aksi jual besar-besaran di pasar saham.
“Pasar masih memperlakukan Bitcoin sebagai proksi langsung dari Nasdaq. Ketika saham teknologi jatuh, Bitcoin ikut terseret. Padahal, saya percaya BTC akan mulai diperlakukan layaknya emas, namun pergeseran persepsi ini butuh waktu,” jelasnya.
Hayes juga mengingatkan bahwa 15 April—batas akhir pembayaran pajak di AS—berpotensi menciptakan tekanan likuiditas. Banyak investor diperkirakan menjual aset, termasuk kripto, untuk memenuhi kewajiban pajak mereka.
Di sisi lain, kebijakan fiskal Departemen Keuangan AS juga menjadi variabel penting. Jika Treasury memutuskan untuk kembali menerbitkan obligasi dalam jumlah besar, likuiditas pasar dapat tersedot, yang berdampak negatif bagi aset berisiko seperti Bitcoin.
“April penuh ketidakpastian,” ujar Hayes. “Tarif, kekhawatiran resesi, hingga isu perubahan tatanan moneter global menciptakan iklim volatil. Jika Bitcoin mampu bertahan di level dukungan US$76.500, itu akan menjadi sinyal positif di tengah turbulensi.” ■