Pinjaman PayLater dan P2P lending melonjak jelang lebaran, awas risiko kredit macet!

- 8 Maret 2025 - 09:43

Menjelang Lebaran 2025, permintaan pinjaman melalui skema Buy Now Pay Later (BNPL) dan peer-to-peer (P2P) lending diperkirakan meningkat signifikan. Tren serupa terjadi pada 2024, di mana outstanding paylater naik 31,45% YoY dan P2P lending tumbuh 24,16% YoY. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memperingatkan agar lonjakan ini tidak memicu peningkatan kredit bermasalah.


Fokus utama:

  1. Pertumbuhan pesat paylater dan P2P lending – Data menunjukkan peningkatan tajam dalam pembiayaan digital menjelang Lebaran, didorong oleh konsumsi masyarakat.
  2. Kekhawatiran stabilitas keuangan – OJK menyoroti potensi lonjakan kredit bermasalah jika pertumbuhan pinjaman tidak dikelola dengan baik.
  3. Dampak terhadap industri fintech – Lonjakan ini menunjukkan pergeseran kebiasaan belanja masyarakat yang semakin bergantung pada pembiayaan digital.

Tren pembiayaan digital melalui skema Buy Now Pay Later (BNPL) dan peer-to-peer (P2P) lending diprediksi meningkat tajam menjelang Lebaran 2025. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan bahwa pola serupa terjadi pada 2024, di mana outstanding paylater naik 31,45% YoY, sementara P2P lending tumbuh 24,16% YoY pada periode yang sama.

Mengacu pada data per Januari 2025, pembiayaan paylater oleh perusahaan pembiayaan mencapai Rp7,12 triliun, tumbuh 41,9% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Sementara itu, outstanding pinjaman P2P lending mencapai Rp78,50 triliun, meningkat 29,94% YoY.

Meskipun pertumbuhan ini mencerminkan tingginya minat masyarakat terhadap layanan pembiayaan digital, OJK mengingatkan agar lonjakan ini tidak menimbulkan dampak negatif bagi industri keuangan.

Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan OJK, Agusman, menegaskan bahwa peningkatan tajam dalam pembiayaan digital harus tetap dalam koridor yang sehat agar tidak memicu lonjakan kredit bermasalah.

“Namun, diharapkan peningkatan ini tetap terkendali agar tidak menimbulkan lonjakan NPF [non-performing financing] di masa mendatang,” ujar Agusman dalam keterangan tertulis, Jumat (7/3).

Saat ini, tingkat NPF gross pada sektor paylater tercatat 3,37%, masih di bawah ambang batas OJK sebesar 5%. Sementara itu, tingkat risiko kredit macet di sektor P2P lending atau Tingkat Wanprestasi 90 Hari (TWP90) tetap stabil di 2,52%.

Peningkatan penggunaan paylater dan P2P lending selaras dengan tren belanja digital yang terus tumbuh, terutama melalui platform e-commerce. Menurut laporan Bank Indonesia, transaksi e-commerce di Indonesia mencapai Rp476 triliun pada 2024, naik 20% dibandingkan tahun sebelumnya.

Penggunaan paylater di e-commerce semakin mendominasi, mengingat kemudahan akses yang ditawarkan. Bahkan, beberapa bank mulai memasuki bisnis paylater, dengan total kredit yang disalurkan oleh perbankan dalam skema ini mencapai Rp22,57 triliun per Januari 2025.

Meskipun paylater dan P2P lending memberikan kemudahan bagi masyarakat, OJK mengingatkan bahwa regulasi dan pengawasan perlu diperketat agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi stabilitas keuangan.

Beberapa tantangan yang harus diwaspadai meliputi peningkatan risiko gagal bayar dan dampak terhadap daya beli masyarakat jika utang konsumtif tidak dikelola dengan baik.

Dengan permintaan pinjaman digital yang terus meningkat, OJK menegaskan pentingnya keseimbangan antara pertumbuhan industri fintech dan mitigasi risiko agar tetap menjaga stabilitas sistem keuangan nasional. ■

Comments are closed.