
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyoroti potensi besar teknologi blockchain dalam mendukung inovasi di sektor perbankan Indonesia. Blockchain dapat meningkatkan efisiensi, transparansi, dan akses layanan keuangan melalui konsep decentralized finance (DeFi). Namun, OJK juga mengingatkan adanya risiko seperti pencucian uang, pendanaan teroris, serta tantangan regulasi. Untuk itu, OJK akan terus mengkaji penerapan blockchain di perbankan nasional dan meningkatkan literasi publik terkait teknologi ini.
Fokus utama:
- Blockchain sebagai Inovasi Finansial. Teknologi blockchain berpotensi mengubah lanskap perbankan dengan menghilangkan perantara dan meningkatkan akses layanan keuangan bagi masyarakat luas.
- Risiko yang Mengintai. Keamanan dan regulasi menjadi tantangan utama, terutama terkait potensi penyalahgunaan untuk aktivitas ilegal dan kurangnya perlindungan konsumen.
- Langkah Strategis OJK. OJK terus mengembangkan regulasi terkait blockchain dan AI di perbankan, serta meningkatkan edukasi publik agar adopsi teknologi ini lebih aman dan efektif.
Teknologi blockchain semakin mendapat perhatian di sektor perbankan Indonesia. Sebagai inovasi yang dapat meningkatkan efisiensi dan transparansi, blockchain berpotensi merevolusi industri keuangan. Namun, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga menyoroti berbagai risiko yang menyertainya, termasuk potensi pencucian uang dan pendanaan teroris.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, menegaskan bahwa teknologi ini dapat mempercepat perkembangan decentralized finance (DeFi), sebuah sistem keuangan tanpa perantara seperti bank atau lembaga keuangan tradisional. Dengan sistem ini, layanan keuangan bisa lebih fleksibel, cepat, dan inklusif.
“Pemanfaatan blockchain dapat meningkatkan efisiensi, fleksibilitas, transparansi, dan aksesibilitas terhadap berbagai produk keuangan,” ujar Dian dalam konferensi pers Rapat Dewan Komisioner (RDK) OJK, pekan ini.
Namun, ia juga mengingatkan bahwa sifat decentralized finance yang anonim dan tanpa batas dapat membuka celah bagi berbagai kejahatan finansial. “Risiko seperti pencucian uang, pembiayaan teroris, volatilitas pasar, serta perlindungan konsumen menjadi perhatian utama,” tambahnya.
Seiring dengan pesatnya transformasi digital, sejumlah bank global telah mengadopsi teknologi blockchain untuk meningkatkan efisiensi operasional mereka. Menurut laporan dari Bank for International Settlements (BIS), sekitar 80% bank sentral di dunia sedang mengeksplorasi penggunaan blockchain untuk sistem keuangan mereka, termasuk penerapan central bank digital currency (CBDC).
Di Indonesia, beberapa bank juga mulai menguji teknologi ini. Namun, regulasi yang belum matang masih menjadi tantangan besar. OJK pun menegaskan pentingnya regulasi yang adaptif agar inovasi ini bisa diterapkan dengan aman tanpa mengorbankan stabilitas sistem keuangan.
“Perkembangan blockchain masih terus dibahas di berbagai forum internasional. OJK juga terus mencermati bagaimana negara lain menyeimbangkan manfaat dan risiko dari teknologi ini,” jelas Dian.
Selain itu, OJK juga menekankan bahwa literasi masyarakat terkait blockchain harus ditingkatkan agar teknologi ini tidak hanya menjadi inovasi yang digunakan oleh segelintir pemain besar di industri keuangan, tetapi juga dapat dimanfaatkan secara luas oleh masyarakat.
Sebagai bagian dari strategi digitalisasi perbankan, OJK tidak hanya fokus pada blockchain tetapi juga mengkaji penerapan artificial intelligence (AI). Dian menyebutkan bahwa regulasi terkait AI dalam industri keuangan saat ini masih dalam tahap perumusan dan akan terus dikembangkan sesuai dengan tren global.
“Ke depan, kita juga akan menerbitkan aturan terkait AI di sektor keuangan, menyesuaikan dengan perkembangan internasional,” ungkapnya.
Dengan semakin luasnya adopsi teknologi blockchain dan AI, regulasi yang kuat dan edukasi masyarakat menjadi kunci utama agar sektor perbankan Indonesia dapat bertransformasi secara aman dan berkelanjutan. ■