Meski konsep “super app” telah menjadi bagian integral dari kehidupan digital di Asia, terutama melalui kesuksesan WeChat di China, perusahaan teknologi Amerika Serikat terus gagal mengadopsi model ini karena tantangan regulasi, perbedaan budaya teknologi, dan lingkungan bisnis yang kompetitif.
Poin utama:
- Regulasi ketat di AS yang membatasi pengembangan aplikasi multifungsi seperti WeChat.
- Perbedaan perilaku pengguna di AS dan Asia yang memengaruhi adopsi super app.
- Upaya perusahaan teknologi AS untuk mengadaptasi model super app dalam lanskap yang lebih terfragmentasi.
Bayangkan sebuah aplikasi yang memungkinkan Anda melakukan hampir segalanya: mengirim pesan, memesan makanan, membayar tagihan, hingga berkonsultasi dengan dokter. Di Asia, aplikasi seperti itu bukan sekadar impian—WeChat, misalnya, telah menjadi pusat ekosistem digital di China. Namun, di Amerika Serikat, mimpi menciptakan “super app” seperti ini masih jauh dari kenyataan.
Menurut penelitian, rata-rata orang Amerika menggunakan sekitar 46 aplikasi berbeda setiap bulan. “Kita semua sudah lelah dengan jumlah aplikasi di ponsel kita,” ujar Arjun Kharpal, reporter teknologi senior CNBC.
Konsep super app menawarkan solusi untuk masalah ini, dengan menyatukan berbagai fungsi dalam satu aplikasi yang praktis dan terintegrasi. Namun, hingga kini, perusahaan teknologi AS seperti Meta, Amazon, dan Uber belum mampu menghadirkan aplikasi sejenis. Pertanyaannya, mengapa?
Pelajaran dari China
WeChat, yang dimiliki oleh raksasa teknologi Tencent, memulai perjalanannya pada 2011 sebagai aplikasi pesan sederhana. Kini, WeChat memiliki lebih dari 1,3 miliar pengguna aktif bulanan, menjadikannya tulang punggung kehidupan digital di China. Kesuksesan WeChat dapat ditelusuri dari berbagai faktor:
Pertama, integrasi yang mulus. WeChat tidak hanya menyediakan fitur perpesanan, tetapi juga layanan pembayaran, belanja, hingga layanan publik, semua dalam satu aplikasi.
Kedua, regulasinya mendukung. Di China, regulasi pemerintah memungkinkan aplikasi untuk mengintegrasikan berbagai layanan, termasuk peer-to-peer lending dan pembayaran digital.
Ketiga, soal kultur teknologi Asia. Pengguna di Asia lebih terbuka terhadap ekosistem aplikasi multifungsi, yang menawarkan kenyamanan lebih besar dibandingkan menggunakan banyak aplikasi terpisah.
Namun, model ini tampaknya sulit diterapkan di AS. Menurut Dan Prud’homme, asisten profesor di Florida International University, “Lingkungan regulasi di AS saat ini tidak mendukung perkembangan super app.” Inilah yang membuat AS selalu gagal membangun super apps-nya.
Mengapa AS gagal?
Di AS, regulasi yang ketat menjadi penghalang utama. Perlindungan data privasi, hukum antimonopoli, dan aturan peer-to-peer lending membuat perusahaan sulit mengintegrasikan berbagai layanan dalam satu platform.
Selain itu, budaya teknologi di AS juga berbeda. Pengguna Amerika lebih memilih aplikasi yang spesifik untuk satu fungsi, seperti WhatsApp untuk komunikasi, DoorDash untuk makanan, dan Venmo untuk pembayaran. Model ini berakar pada ekosistem teknologi yang lebih terfragmentasi dibandingkan Asia.
Persaingan bisnis juga menjadi tantangan. Tidak seperti Tencent yang mendapatkan dukungan kuat dari pemerintah, perusahaan teknologi AS seperti Meta dan Amazon harus bersaing ketat dalam pasar yang sudah sangat jenuh.
Meski tantangan besar, ada tanda-tanda perubahan. Meta, misalnya, telah mencoba menambahkan fitur belanja dan pembayaran di WhatsApp. Uber juga memperluas layanannya dengan menambahkan fitur seperti reservasi hotel dan tiket transportasi umum.
Namun, upaya ini masih dalam tahap awal. “Dibutuhkan perubahan mendasar dalam regulasi dan perilaku konsumen untuk memungkinkan super app tumbuh di AS,” kata Prud’homme.
Super app mungkin masih menjadi impian yang jauh di AS, tetapi peluang tetap ada. Dengan perubahan regulasi dan inovasi yang berkelanjutan, bukan tidak mungkin suatu hari nanti AS memiliki versi mereka sendiri dari WeChat. Namun, jalan menuju ke sana akan penuh tantangan. ■