Industri perbankan Indonesia menghadapi tantangan berat pada 2025, termasuk risiko likuiditas, inflasi, dan persaingan digital. Namun, momentum ini harus dimanfaatkan untuk transformasi strategis dengan memperkuat likuiditas, mendiversifikasi pendapatan, serta berkolaborasi dengan fintech. Kebijakan fiskal dan regulasi, seperti penghapusan kredit macet UMKM, juga memerlukan kehati-hatian agar tidak menciptakan risiko baru. Digitalisasi menjadi peluang utama, tetapi membutuhkan investasi besar pada keamanan data dan sinergi antar-pelaku industri.
- Ketahanan likuiditas: Loan-to-deposit ratio (LDR) meningkat, mendekati batas atas, menunjukkan risiko likuiditas yang perlu diantisipasi melalui uji stres reguler.
- Transformasi digital: Digitalisasi menjadi solusi meningkatkan efisiensi, namun risiko serangan siber dan persaingan fintech harus dikelola dengan baik.
- Kebijakan strategis: Peraturan terkait penghapusan kredit macet UMKM dan premi restrukturisasi perbankan perlu diimbangi dengan mitigasi risiko dan pengawasan ketat.
Industri perbankan Indonesia memasuki tahun 2025 dengan berbagai tantangan berat. Ketidakpastian global, kebijakan fiskal domestik, hingga peningkatan persaingan teknologi menuntut bank untuk lebih adaptif. Namun, alih-alih hanya bertahan, sektor perbankan harus menjadikan 2025 sebagai momentum transformasi strategis.
Loan-to-deposit ratio (LDR) perbankan umum Indonesia meningkat menjadi 87,34% pada November 2024, mendekati batas atas 92%. Meski ini menunjukkan agresivitas penyaluran kredit, risiko likuiditas menjadi ancaman serius. Liquidity Coverage Ratio (LCR) dan Net Stable Funding Ratio (NSFR), masing-masing berada di level 222,7% dan 129,5%, memberikan bantalan sementara, tetapi tidak cukup untuk menenangkan kekhawatiran.
Pengalaman negara lain menunjukkan risiko likuiditas sering kali menjadi penyebab utama krisis keuangan. Di Turki, misalnya, ketidakmampuan bank menjaga likuiditas saat inflasi melonjak menyebabkan kehancuran sektor finansial pada 2018. Indonesia perlu belajar dari kasus ini, terutama dengan meningkatkan frekuensi dan kedalaman uji stres.
Kebijakan pajak dan daya beli
Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% untuk barang mewah pada 2025 adalah langkah strategis pemerintah untuk mengamankan penerimaan negara. Namun, dampaknya pada daya beli masyarakat tidak boleh diabaikan.
Dengan inflasi mencapai 1,57% pada akhir 2024, masyarakat kelas menengah ke bawah sudah merasakan tekanan berat akibat kenaikan harga kebutuhan pokok, seperti beras dan minyak goreng.
Di Brasil, kebijakan fiskal yang salah langkah pada 2015 menyebabkan inflasi melonjak hingga 10%, menghancurkan daya beli dan menurunkan pertumbuhan ekonomi. Indonesia harus memastikan kebijakan fiskalnya tidak sekadar mengamankan pendapatan, tetapi juga melindungi stabilitas ekonomi masyarakat kecil.
Penghapusan kredit macet UMKM
Kebijakan penghapusan kredit macet UMKM melalui Peraturan Pemerintah No. 47/2024 membuka peluang bagi bank untuk mendukung sektor UMKM. Peraturan pemerintah ini PP mengatur bahwa bank BUMN dapat melakukan hapus tagih kredit macet UMKM setelah melakukan upaya penagihan maksimal. PP ini berlaku untuk kredit macet UMKM di berbagai sektor, seperti pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, mode, kuliner, dan industri kreatif.
Peraturan Pemerintah (PP) No. 47/2024 tentang Penghapusan Piutang Macet UMKM. PP itu merupakan aturan turunan dari UU No. 4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) efektif 12 Januari 2023. UU itu menggarisbawahi bahwa piutang macet pada bank dan/atau lembaga keuangan non-bank BUMN kepada UMKM dapat dilakukan penghapusbukuan dan penghapustagihan untuk mendukung kelancaran pemberian akses pembiayaan kepada UMKM (pasal 250 ayat 2).
Sedangkan di dalam Pasal 251 menegaskan kerugian oleh bank dan/atau lembaga keuangan nonbank BUMN dalam melaksanakan penghapusbukuan dan penghapustagihan piutang merupakan kerugian bank dan/atau lembaga keuangan non-bank BUMN bersangkutan (ayat 1).
Kerugian tersebut bukan merupakan kerugian keuangan negara sepanjang dapat dibuktikan tindakan dilakukan berdasarkan iktikad baik, ketentuan peraturan perundang-undangan, anggaran dasar dan prinsip tata kelola perusahaan yang baik. (ayat 2).
Direksi dalam melaksanakan penghapusbukuan dan penghapustagihan piutang tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian yang terjadi (ayat 3). Hingga kini belum ada Peraturan OJK yang mengatur hapus tagih kredit macet UMKM untuk bank BUMN. Pihak OJK juga sudah menyatakan bahwa Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 2024 tidak memerlukan Peraturan OJK (POJK) turunan. Peraturan tersebut memberi lampu hijau bagi bank BUMN untuk melakukan hapus tagih terhadap kredit macet UMKM.
Idealnya, OJK perlu mengeluarkan aturan main mengingat tanpa pedoman teknis yang jelas, bank BUMN menghadapi risiko moral hazard dan kerugian finansial mengingat nilainya cukup fantastis. Total utang macet UMKM di bank-bank BUMN per November 2024 adalah Rp 8,7 triliun. Pemerintah berencana menghapus utang tersebut untuk mendorong daya beli masyarakat dan UMKM.
Terlepas dari apakah POJK perlu atau tidak, bank BUMN wajib memegang prinsip kehati-hatian dalam melaksanakan amanat UU tersebut.
Dalam hal utang UMKM, mungkin India bisa dijadikan contoh. Pemerintah India membentuk “Bad Bank”, meski tak mencatat sukses besar, untuk menampung kredit macet UMKM, sehingga bank komersial tetap fokus pada ekspansi kredit. Bad bank di India merupakan National Asset Reconstruction Company Limited (NARCL), sebuah perusahaan rekonstruksi aset nasional yang didirikan pada tahun 2021 untuk membantu membersihkan neraca bank-bank India dengan membeli dan mengelola pinjaman macet .
Bagaimana cara kerja bad bank? NARCL membeli pinjaman buruk dari bank lalu mengelola dan memulihkan nilai dari pinjaman setelah itu NARCL menjual pinjaman kepada pembeli utang yang sedang dalam kesulitan. Tujuannya apa? Tak lain untuk membantu bank terbebas dari beban aset bermasalah (non-performing assets/NPA). Dengan demikian NARCL bisamenstabilkan bank dan meningkatkan sistem keuangan.
Mengenai kepemilikan, NARCL adalah perusahaan rekonstruksi aset sektor publik dimana bank-bank plat merah di sana Bank memiliki 51% saham NARCL, dan bank swasta memiliki 49%. Pemerintah India melengkapi NARCL dengan dan Pemerintah mendirikan India Debt Resolution Company Limited (IDRCL) untuk membantu menyelesaikan masalah.
Nah, Indonesia perlu mempertimbangkan langkah serupa untuk menjaga kesehatan neraca keuangan bank, sekaligus memastikan keberlanjutan pembiayaan UMKM.
Tantangan bagi perbankan
Pemberlakuan premi Program Restrukturisasi Perbankan (PRP) mulai 2025 menjadi tantangan tambahan bagi bank. Jika premi ini dibebankan kepada nasabah, suku bunga kredit dapat meningkat, yang pada akhirnya menghambat ekspansi ekonomi.
Di Uni Eropa, kebijakan serupa pada 2014 justru mendorong bank mengalihkan biaya kepada nasabah, yang mengakibatkan penurunan permintaan kredit hingga 20%. Indonesia harus mengantisipasi dampak serupa dengan memastikan pembiayaan tetap terjangkau bagi sektor produktif.
Digitalisasi menjadi solusi utama untuk meningkatkan efisiensi perbankan di tengah tekanan ekonomi. Bank Indonesia telah memperkenalkan fitur QRIS NFC untuk memfasilitasi pembayaran di sektor transportasi publik. Langkah ini sejalan dengan tren global, di mana digitalisasi meningkatkan efisiensi hingga 30% di negara-negara maju seperti Singapura.
Namun, risiko serangan siber dan persaingan dari fintech nonbank tidak bisa diabaikan. Perbankan harus meningkatkan investasi pada teknologi keamanan data sekaligus berkolaborasi dengan fintech untuk menciptakan ekosistem keuangan yang inklusif.
Langkah strategis
Untuk menghadapi tantangan 2025, sektor perbankan Indonesia perlu fokus pada tiga prioritas utama:
Pertama, memperkuat likuiditas dan manajemen risiko, yakni melalui pengawasan ketat dan penerapan uji stres secara reguler.
Kedua, diversifikasi pendapatan dengan mengoptimalkan dan mengembangkan layanan digital dan meningkatkan penetrasi pasar UMKM.
Ketiga, melakukan kolaborasi dengan fintech dengan m embentuk aliansi strategis untuk memanfaatkan teknologi tanpa mengorbankan keamanan data.
Dengan strategi yang matang, perbankan Indonesia tidak hanya bisa bertahan, tetapi juga menciptakan pertumbuhan yang berkelanjutan. Tahun 2025 harus menjadi tonggak transformasi, bukan sekadar tahun bertahan dari badai ekonomi global. ■
*) Deddy H. Pakpahan, senior editor digitalbank.id.