Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memperingatkan masyarakat atas dua modus kejahatan keuangan yang tengah menjadi tren di Indonesia. Di tengah perkembangan teknologi finansial, masyarakat justru semakin rentan terhadap penipuan berbasis digital. Seperti apa modusnya dan bagaimana cara melindungi diri?
Perkembangan sektor keuangan digital tidak hanya membawa peluang, tetapi juga ancaman berupa penipuan yang semakin canggih. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) baru-baru ini mengungkap dua modus kejahatan keuangan yang kini sedang merajalela. Modus-modus ini memanfaatkan celah dalam literasi keuangan masyarakat yang masih rendah, terutama di era di mana layanan digital semakin mendominasi.
Friderica Widyasari Dewi, Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Pelindungan Konsumen OJK, mengungkap bahwa modus pertama adalah penipuan berkedok kerja paruh waktu yang menjanjikan imbal hasil tetap.
“Modus ini biasanya menawarkan calon korban untuk menonton dan mengklik video tertentu, disertai janji bonus jika berhasil merekrut anggota baru,” jelas Friderica dalam pernyataannya pada Senin (23/12)
Sementara itu, modus kedua adalah penawaran investasi palsu atau impersonation, di mana pelaku menggunakan nama perusahaan atau entitas resmi tanpa izin. Para korban seringkali tergoda oleh iming-iming keuntungan besar yang jauh dari realitas.
Data kejahatan yang mengkhawatirkan
Hingga 20 Desember 2024, Indonesia Anti-Scam Center (IASC) mencatat 11.448 aduan terkait aktivitas keuangan ilegal. Selain itu, sebanyak 5.987 rekening telah diblokir, dan dana sebesar Rp27,1 miliar berhasil diselamatkan. Angka ini mencerminkan peningkatan signifikan dibandingkan tahun sebelumnya, menunjukkan bahwa kejahatan finansial berbasis digital semakin menjadi masalah serius.
OJK, bekerja sama dengan Satuan Tugas Pemberantasan Aktivitas Keuangan Ilegal (Satgas PASTI), meluncurkan IASC untuk mempercepat penanganan kasus-kasus ini. “Kolaborasi antara otoritas, kementerian, dan lembaga terkait sangat penting untuk melindungi masyarakat,” tegas Friderica.
Friderica, yang akrab disapa Kiki, mengimbau masyarakat untuk selalu memeriksa legalitas penawaran investasi. “Pastikan izin badan hukum dan kegiatan usaha sudah terverifikasi sebelum mengambil keputusan,” ujarnya. Ia juga menekankan pentingnya konfirmasi ke kontak resmi perusahaan jika ada keraguan atas suatu penawaran.
Selain itu, masyarakat diminta untuk waspada terhadap penawaran investasi dengan imbal hasil yang tidak masuk akal. “Jika tawaran terdengar terlalu indah untuk menjadi kenyataan, maka kemungkinan besar itu adalah penipuan,” tambahnya.
Ancaman terhadap ekonomi digital
Kejahatan keuangan seperti ini tidak hanya merugikan individu, tetapi juga mengancam kepercayaan masyarakat terhadap ekonomi digital. Menurut laporan dari Statista, transaksi digital di Indonesia diperkirakan akan mencapai USD 100 miliar pada tahun 2025. Namun, tanpa literasi keuangan yang memadai, potensi pertumbuhan ini bisa terganggu.
Dalam laporan tahunannya, Global Anti-Scam Alliance (GASA) menempatkan Indonesia di peringkat lima besar negara dengan insiden penipuan digital terbanyak di Asia Tenggara. Fakta ini menyoroti perlunya upaya lebih besar dalam edukasi keuangan dan penegakan hukum.
Dengan meningkatnya jumlah korban, masyarakat perlu didorong untuk lebih proaktif melaporkan aktivitas mencurigakan. Edukasi digital di sekolah-sekolah dan program literasi keuangan berbasis komunitas bisa menjadi solusi jangka panjang.
OJK juga berharap masyarakat mendukung upaya mereka dengan cara meningkatkan kesadaran akan pentingnya literasi keuangan. “Kami akan terus memperkuat pengawasan dan perlindungan untuk menciptakan ekosistem keuangan yang lebih aman,” tutup Friderica. ■