Dalam langkah drastis untuk menjaga stabilitas sektor keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencabut izin PT Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Arfak Indonesia. Keputusan ini menandai babak akhir dari upaya panjang yang gagal menyelamatkan bank tersebut dari krisis likuiditas dan permodalan yang semakin mendalam.
Setelah melalui berbagai tahapan pengawasan, PT BPR Arfak Indonesia akhirnya dinyatakan tidak dapat dipertahankan. Dengan rasio kecukupan modal (KPMM) yang terus merosot di bawah 12% dan rasio kas (CR) rata-rata hanya di bawah 5%, bank ini resmi dicabut izinnya oleh OJK pada 17 Desember 2024. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) juga memutuskan untuk tidak menyelamatkan bank tersebut, mengarahkan upaya selanjutnya pada proses likuidasi dan pembayaran dana nasabah.
Langkah ini tidak hanya menjadi peringatan bagi institusi keuangan lain, tetapi juga menunjukkan komitmen regulator dalam menjaga kepercayaan publik terhadap sistem perbankan Indonesia.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencabut izin usaha PT BPR Arfak Indonesia berdasarkan Keputusan Anggota Dewan Komisioner OJK Nomor KEP-105/D.03/2024. Bank yang berbasis di Manokwari, Papua Barat, ini sebelumnya telah diberi status Bank Dalam Penyehatan (BDP) sejak Desember 2023.
“Pada 11 Desember 2023, OJK telah menetapkan PT BPR Arfak Indonesia sebagai bank dengan status pengawasan Bank Dalam Penyehatan (BDP) karena memiliki rasio KPMM kurang dari 12%, Cash Ratio (CR) rata-rata selama 3 bulan terakhir kurang dari 5%, serta Tingkat Kesehatan (TKS) BPR memiliki predikat Tidak Sehat,” jelas Kepala OJK Papua, Fatwa Aulia, dalam keterangannya, Selasa (17/12).
Namun, hingga akhir tahun 2024, PT BPR Arfak Indonesia tidak berhasil memenuhi kewajiban yang ditetapkan, meski telah diberikan waktu dan panduan untuk menyelesaikan masalah permodalan dan likuiditas. Berdasarkan Peraturan OJK Nomor 28 Tahun 2023, OJK kemudian menetapkan bank ini dalam status pengawasan “Bank Dalam Resolusi.”
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) melalui Keputusan Nomor 141/ADK3/2024 memutuskan tidak menyelamatkan bank ini. Sesuai mandatnya, LPS akan mengalihkan fokus pada pembayaran simpanan nasabah dan melaksanakan likuidasi sesuai dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023.
Dengan pencabutan izin ini, OJK memastikan bahwa dana nasabah di PT BPR Arfak Indonesia tetap dijamin oleh LPS sesuai ketentuan yang berlaku. Langkah ini juga menjadi penegasan atas komitmen regulator untuk melindungi konsumen sekaligus memperkuat stabilitas sistem keuangan di Indonesia.
OJK mengimbau nasabah PT BPR Arfak Indonesia agar tetap tenang. LPS telah memulai persiapan untuk proses pembayaran klaim penjaminan simpanan sesuai prosedur yang berlaku. Nasabah disarankan untuk menghubungi saluran resmi OJK atau LPS untuk informasi lebih lanjut.
Kasus ini menyoroti tantangan yang dihadapi oleh Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dalam menjaga kesehatan keuangannya, khususnya di wilayah terpencil seperti Papua Barat. Data OJK mencatat bahwa per Desember 2023, 15% dari BPR di Indonesia mengalami risiko serupa dengan permasalahan likuiditas. Regulasi ketat seperti yang diterapkan dalam kasus BPR Arfak menjadi upaya untuk mencegah efek domino di sektor perbankan.
Dalam konteks lebih luas, langkah ini mencerminkan langkah serius pemerintah untuk mendukung daya tahan sektor keuangan menghadapi tekanan ekonomi global dan domestik, termasuk risiko inflasi dan perlambatan ekonomi. ■