Industri perbankan Indonesia terus menunjukkan pertumbuhan yang positif meski dihadapkan pada ketidakpastian global. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat bahwa per Oktober 2024, penyaluran kredit perbankan mencapai Rp7.656,9 triliun, meningkat 10,92% secara tahunan (year-on-year).
Angka ini memperlihatkan ketangguhan sektor perbankan di tengah tantangan geopolitik global dan potensi pelemahan ekonomi domestik. Namun, bagaimana masa depan perbankan nasional di tengah derasnya arus digitalisasi dan perubahan kebijakan ekonomi?
Kinerja Perbankan yang Resilien
Data terbaru OJK menunjukkan bahwa selain pertumbuhan kredit, penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK) juga mencatatkan pertumbuhan 6,74% YoY, dengan total nilai mencapai Rp8.751,16 triliun. Sektor tabungan menjadi kontributor terbesar dalam penghimpunan DPK ini. Rasio kredit bermasalah (Non-Performing Loan/NPL) berada di level 2,20%, turun tipis dibanding bulan sebelumnya (2,21%), sementara Loan at Risk (LaR) menurun ke 9,94%, mendekati level sebelum pandemi pada Desember 2019 yang sebesar 9,93%.
Kondisi permodalan juga tetap kuat dengan Capital Adequacy Ratio (CAR) berada di angka 27,07%, jauh di atas batas minimal yang ditetapkan sebesar 8%. Rasio alat likuid terhadap DPK (AL/DPK) juga berada di level aman, yaitu 25,58%, memberikan keyakinan bahwa likuiditas perbankan memadai untuk mendukung ekspansi kredit di masa depan.
Peluang dan Tantangan di Tahun 2025
Menyongsong tahun 2025, sektor perbankan menghadapi beberapa peluang sekaligus tantangan. Proyeksi penurunan suku bunga global dan domestik dapat menjadi katalis pertumbuhan kredit. Kebijakan ini diperkirakan mampu menurunkan biaya dana (cost of fund) dan mendorong permintaan kredit, baik dari sektor korporasi maupun rumah tangga.
Namun, ketidakpastian global seperti dampak kebijakan pemerintahan baru di Amerika Serikat, tensi geopolitik di Timur Tengah, dan perang Rusia-Ukraina tetap menjadi ancaman. Selain itu, pelemahan rupiah yang baru-baru ini menyentuh Rp16.008 per dolar AS menambah tekanan terhadap sektor perbankan, terutama bank yang memiliki eksposur utang luar negeri yang signifikan.
Transformasi Digital sebagai Game Changer
Digitalisasi menjadi salah satu pilar penting bagi masa depan perbankan nasional. Survei McKinsey pada 2023 mencatat bahwa 55% nasabah di Indonesia kini lebih memilih layanan perbankan digital dibandingkan konvensional. Bank-bank besar seperti BCA, BRI, dan Mandiri telah meluncurkan berbagai inovasi digital, termasuk layanan super-app yang mengintegrasikan berbagai kebutuhan finansial dalam satu platform.
Namun, transformasi ini tidak tanpa risiko. Ancaman siber semakin meningkat seiring dengan meningkatnya penggunaan teknologi dalam layanan perbankan. Data dari Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) mencatat bahwa sektor keuangan adalah salah satu target utama serangan siber di Indonesia, dengan 28 juta serangan tercatat sepanjang 2023. Oleh karena itu, investasi dalam teknologi keamanan menjadi prioritas utama.
Perbankan Hijau: Masa Depan yang Berkelanjutan
Selain digitalisasi, perbankan hijau (green banking) diprediksi akan menjadi tren utama di masa depan. Bank Indonesia dan OJK telah mendorong penerapan prinsip-prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG) dalam aktivitas perbankan. Sebagai contoh, beberapa bank BUMN telah menyalurkan kredit hijau untuk mendukung proyek-proyek energi terbarukan.
Bank BRI, misalnya, telah mengalokasikan Rp10 triliun untuk pembiayaan proyek-proyek energi hijau hingga 2025. Hal ini sejalan dengan target pemerintah untuk mencapai net zero emission pada 2060. Adopsi ESG tidak hanya meningkatkan citra bank, tetapi juga membuka peluang pasar baru di kalangan investor institusional yang semakin peduli terhadap keberlanjutan.
Konsolidasi dan Diversifikasi
Konsolidasi perbankan juga menjadi tren yang terus berlanjut. Merger antara beberapa bank kecil menjadi strategi untuk meningkatkan efisiensi dan daya saing di tengah kompetisi yang semakin ketat. Sebagai contoh, merger antara Bank Syariah Mandiri, BNI Syariah, dan BRI Syariah yang membentuk Bank Syariah Indonesia (BSI) terbukti sukses mengoptimalkan potensi pasar syariah di Indonesia.
Diversifikasi produk perbankan juga semakin penting. Produk seperti paylater, kredit mikro, dan investasi berbasis digital menjadi daya tarik baru, khususnya bagi generasi milenial dan Gen Z. Data dari Statista menunjukkan bahwa pasar paylater di Indonesia tumbuh 42% pada 2024, dengan total transaksi mencapai Rp45 triliun.
Langkah Strategis ke Depan
Untuk menjaga pertumbuhan yang berkelanjutan, sektor perbankan perlu fokus pada beberapa langkah strategis:
- Penguatan Infrastruktur Teknologi: Investasi pada teknologi cloud, AI, dan big data untuk meningkatkan efisiensi operasional dan pengalaman nasabah.
- Pengelolaan Risiko yang Cermat: Memitigasi risiko kredit dan serangan siber melalui kebijakan yang proaktif.
- Kolaborasi dengan Fintech: Bank dapat memperluas jangkauan layanan melalui kemitraan dengan perusahaan fintech.
- Edukasi dan Literasi Keuangan: Meningkatkan pemahaman masyarakat tentang produk dan layanan perbankan, khususnya di daerah pedesaan.
Masa depan perbankan nasional adalah perjalanan menuju transformasi digital dan keberlanjutan yang didukung oleh kebijakan yang adaptif. Dengan mengadopsi teknologi terkini, memperkuat keamanan, dan fokus pada keberlanjutan, perbankan Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi di tengah tantangan global yang terus berkembang.
Jika dijalankan dengan baik, sektor ini tidak hanya akan terus tumbuh, tetapi juga menjadi fondasi kuat bagi stabilitas ekonomi nasional. ■