Maraknya finfluencer atau tokoh media sosial yang membahas keuangan kini menjadi sorotan utama Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sambil melangkah hati-hati, regulator keuangan Indonesia tengah menyusun regulasi untuk mengatur kiprah mereka. Langkah ini tak hanya bertujuan menciptakan ruang digital yang lebih aman, tetapi juga memberikan perlindungan optimal bagi konsumen dari ancaman investasi bodong yang kian merajalela.
Di tengah kemajuan teknologi yang semakin memudahkan akses ke berbagai informasi, peran finfluencer semakin signifikan. Mereka tidak hanya mempromosikan produk keuangan, tetapi juga kerap memberi edukasi terkait investasi. Namun, OJK memandang fenomena ini sebagai pedang bermata dua. Di satu sisi, mereka membantu meningkatkan literasi keuangan masyarakat. Di sisi lain, keahlian yang dipertanyakan dan ajakan investasi tanpa dasar resmi dari beberapa oknum bisa membawa malapetaka finansial.
“Kita sedang dalam proses untuk bagaimana mengatur influencer ini. Kalau pun muncul, mereka harus bertanggung jawab dan tidak menimbulkan kerugian pada masyarakat,” tegas Friderica Widyasari Dewi, Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen OJK, dalam acara di Ritz Carlton, Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (6/12).
Menurut Friderica, fenomena finfluencer ini tidak hanya terjadi di Indonesia. “Ini sudah menjadi perhatian global dari regulator sektor keuangan di seluruh dunia,” ujarnya. Laporan terbaru dari Global Financial Literacy Excellence Center menunjukkan bahwa lebih dari 65% konsumen muda di Asia mengandalkan influencer media sosial untuk informasi investasi, meski lebih dari separuhnya tidak memverifikasi sumber informasi tersebut.
Kasus di Indonesia Timur menjadi salah satu contohnya. Seorang influencer ternama, dengan jutaan pengikut, mengajak masyarakat berinvestasi dalam skema yang ternyata palsu. “Kemarin ada kasus juga di mana akhirnya jatuhnya jadi investasi bodong,” ujar Friderica.
Langkah OJK untuk menyusun regulasi ini sejalan dengan langkah regulator lain di dunia, seperti ASIC di Australia dan FCA di Inggris, yang sudah lebih dulu mengatur konten finfluencer dengan ketat. “Kadang-kadang mereka menyampaikan sesuatu di mana mereka tidak punya keahlian yang mendukung,” imbuh Friderica.
Regulasi ini nantinya diharapkan mencakup persyaratan minimum bagi finfluencer yang ingin mempromosikan produk keuangan, seperti sertifikasi atau lisensi tertentu, serta kewajiban transparansi terkait konflik kepentingan. Dengan pendekatan ini, OJK berharap bisa melindungi konsumen sekaligus tetap mendorong inovasi di ruang digital keuangan. ■