Di tengah ambisi Indonesia mencapai target nol emisi karbon pada 2060, HSBC Indonesia mengungkapkan tantangan besar yang dihadapi negara dalam transisi menuju pembiayaan berkelanjutan. Dominasi ekonomi berbasis batu bara dan kesenjangan pemahaman pasar menjadi hambatan utama dalam mendorong adopsi green financing, menurut para eksekutif bank global tersebut.
PT Bank HSBC Indonesia melihat ekonomi berbasis batu bara sebagai salah satu hambatan terbesar bagi Indonesia dalam mencapai target net zero emission pada 2060.
Managing Director and Head of Wholesale Banking HSBC Indonesia, Riko Tasmaya, menjelaskan bahwa meski pembiayaan berkelanjutan bukanlah hal baru, perjalanan menuju nol emisi karbon masih membutuhkan komitmen kolektif dari berbagai pihak.
“Komitmen menuju nol emisi karbon ini kan naik-turun, dari dunia, dari negara, dan segala macam,” ujar Riko di Jakarta, Selasa (12/11).
Menurutnya, tantangan utama bagi HSBC adalah edukasi pasar, di mana perbedaan prioritas dalam memandang net zero emission masih menjadi kendala. Banyak pelaku pasar yang menganggap investasi dalam energi baru terbarukan sebagai risiko tinggi, terutama di tengah melimpahnya batu bara yang menjadi penopang ekonomi nasional.
Sebagai salah satu penghasil batu bara terbesar di dunia, Indonesia memiliki ketergantungan yang tinggi pada bahan bakar fosil ini untuk pembangkit listrik. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), hingga tahun 2023, sekitar 60% energi listrik di Indonesia masih berasal dari batu bara. Situasi ini menambah kompleksitas transisi menuju penggunaan energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan.
Riko menyatakan bahwa tantangan lain yang muncul adalah terkait teknologi dan pembiayaan. “Selain teknologi, apa yang menjadi challenge lagi adalah financing. Kami dari bank juga harus melihat appetite [toleransi risiko]-nya, harus berhati-hati juga, jangan sampai project-nya tiba-tiba mangkrak,” tambahnya.
Dalam upaya mendukung transisi ini, HSBC Indonesia telah memulai langkah nyata dengan menandatangani kerja sama pembiayaan rantai pasokan dengan bisnis semen PT Cipta Mortar Utama, bagian dari Saint-Gobain Group.
Presiden Direktur HSBC Indonesia, Francois de Maricourt, menyatakan bahwa inisiatif ini merupakan yang pertama di Asia Tenggara dan sesuai dengan target Indonesia menuju nol emisi karbon pada 2060.
“Hal ini sesuai dengan target Indonesia untuk menuju nol emisi karbon pada 2060,” ujar Francois dalam kesempatan yang sama. Kerja sama ini menandai langkah awal dalam memperkenalkan pembiayaan berkelanjutan di sektor industri, khususnya dalam rantai pasokan.
Pembiayaan tersebut dirancang untuk membantu PT Cipta Mortar Utama mengurangi jejak karbonnya, terutama pada emisi Lingkup 3, yang melibatkan emisi tidak langsung dari seluruh rantai pasokan. “Kalau mereka mencapai target yang mengarah ke sustainability tersebut, maka akan mendapat insentif,” jelas Riko.
Meski demikian, Riko tidak mengungkapkan detail terkait besaran dana maupun durasi pembiayaan. Ia hanya menjelaskan bahwa kerja sama ini bersifat “umbrella facility,” yang akan disesuaikan berdasarkan kebutuhan transaksi mendatang.
HSBC juga menekankan pentingnya kolaborasi antara bank dan klien dalam mendorong adopsi green financing. Dalam sebuah laporan dari Climate Bonds Initiative, Indonesia diprediksi membutuhkan lebih dari US$200 miliar hingga 2030 untuk mencapai target energi terbarukan dan nol emisi karbon. Ini menunjukkan besarnya peluang bagi sektor perbankan untuk memainkan peran penting dalam pembiayaan proyek-proyek hijau.
Namun, transisi menuju green financing di Indonesia menghadapi tantangan besar. Selain ketergantungan pada batu bara, kesenjangan pemahaman antara pelaku pasar dan pemangku kepentingan terkait risiko dan keuntungan dari investasi berkelanjutan menjadi hambatan tersendiri. Upaya seperti edukasi pasar dan kemitraan strategis diharapkan dapat mempercepat adopsi green financing dan mendorong Indonesia menuju ekonomi yang lebih berkelanjutan. ■
Foto: NikkeiAsia.com