PASAR KARTU KREDIT GLOBAL telah mengalami pertumbuhan yang signifikan dalam lima tahun terakhir dan diproyeksikan terus tumbuh dalam lima tahun ke depan. Kalau pada 2022 lalu, pasar kartu kredit global nilainya mencapai sekitar US$474,49 miliar, maka pada 2030 nilainya diperkirakan akan tumbuh hingga US$884,36 miliar dengan tingkat pertumbuhan tahunan gabungan (CAGR) sebesar 8,6%.
Di Asia Tenggara, khususnya Indonesia, kartu kredit juga menunjukkan tren positif meski menghadapi persaingan dari solusi pembayaran digital lain seperti buy now, pay later (BNPL). Nilai transaksi kartu kredit di Indonesia mencapai Rp323,6 triliun (sekitar US$24,1 miliar) pada 2022, mengalami pertumbuhan 32% dari 2021. Indonesia masih memiliki peluang besar untuk pengembangan pasar kartu kredit, mengingat penetrasi kartu kredit di negara ini baru mencapai 5%, jauh lebih rendah dibandingkan Thailand (35%) dan Malaysia (30%).
Secara keseluruhan, pasar kartu kredit di Asia Pasifik juga diprediksi akan terus tumbuh, terutama didorong oleh pertumbuhan ekonomi digital dan meningkatnya transaksi online seiring pertumbuhan bisnis e-commerce.
Melihat prospek yang cukup baik, perusahaan-perusahaan kartu kredit mulai memikirkan mengadopsi teknologi mutakhir guna meningkatkan keamanan dan kenyamanan transaksi kartu kredit. Apalagi, ancaman kejahatan siber yang semakin canggih makin meningkat.
Tahun ini, Mastercard, salah satu perusahaan pembayaran terbesar di dunia, telah mengumumkan rencananya untuk mengimplementasikan teknologi tokenisasi dan biometrik pada kartu kredit mereka di Eropa mulai tahun 2030.
Teknologi tokenisasi dan biometrik diharapkan menjadi solusi ampuh dalam memerangi kejahatan kartu kredit, yang terus berkembang dengan semakin kompleksnya metode peretasan dan penipuan. Namun, apa sebenarnya keuntungan dari penggunaan teknologi ini? Bagaimana dampaknya terhadap pasar kartu kredit global, khususnya di Asia Tenggara dan Indonesia? Serta, apa kelemahan dari teknologi ini?
Teknologi tokenisasi dan biometrik
Tokenisasi adalah teknologi yang menggantikan informasi sensitif, seperti nomor kartu kredit, dengan serangkaian angka acak yang disebut “token”. Token ini tidak memiliki nilai di luar ekosistem transaksi yang ditentukan, sehingga data asli pemegang kartu tidak pernah terekspos selama proses pembayaran. Teknologi ini membuat data yang dicuri menjadi tidak berguna bagi para peretas.
Sementara itu, teknologi biometrik mengacu pada penggunaan karakteristik unik individu, seperti sidik jari, pengenalan wajah, atau pemindaian iris, untuk memverifikasi identitas pengguna. Ini memberikan lapisan keamanan tambahan yang sulit untuk dipalsukan atau dicuri dibandingkan dengan metode otentikasi tradisional seperti PIN atau kata sandi.
Ada beberapa keuntungan menggunakan teknologi tokenisasi dan biometrik di antaranya:
Pertama, perlindungan terhadap kejahatan kartu kredit. Teknologi tokenisasi secara efektif mengurangi risiko pencurian data karena informasi asli tidak disimpan atau ditransmisikan selama transaksi. Jika peretas berhasil mencuri data token, mereka tidak dapat menggunakannya untuk melakukan pembelian karena token tersebut hanya valid di lingkungan tertentu. Sementara teknologi biometrik menambahkan lapisan otentikasi yang sulit untuk diretas. Pengguna tidak perlu lagi mengingat PIN atau kata sandi, dan identitas mereka diverifikasi dengan menggunakan ciri fisik unik yang sulit untuk diduplikasi. Hal ini membuatnya sangat efektif dalam mencegah akses tidak sah ke akun kartu kredit.
Kedua, Kemudahan dan kenyamanan pengguna. Selain meningkatkan keamanan, teknologi ini juga mempercepat proses pembayaran. Pengguna cukup melakukan verifikasi melalui biometrik tanpa perlu memasukkan PIN, yang mempersingkat waktu transaksi dan meningkatkan kenyamanan.
Ketiga, Pengurangan risiko penyalahgunaan data. Tokenisasi mengurangi kemungkinan pelanggaran data berskala besar, seperti yang terjadi pada beberapa perusahaan besar dalam beberapa tahun terakhir. Bahkan jika terjadi kebocoran data, token yang bocor tidak dapat digunakan untuk transaksi di luar sistem yang memproduksinya.
Namun meski menawarkan banyak keuntungan, teknologi tokenisasi dan biometrik tidak terlepas dari beberapa kelemahan yang perlu diperhatikan a.l.:
Pertama, biaya implementasi tinggi. Salah satu tantangan terbesar adalah biaya untuk mengadopsi teknologi ini, terutama untuk lembaga keuangan kecil atau penyedia layanan yang belum memiliki infrastruktur yang cukup. Biaya untuk memperbarui sistem pembayaran dan memastikan semua pedagang menerima tokenisasi bisa menjadi penghalang.
Kedua, risiko keamanan biometrik. Meskipun biometrik sulit dipalsukan, data biometrik memiliki sifat yang lebih sensitif dibandingkan dengan kata sandi atau PIN. Jika data biometrik bocor, pengguna tidak dapat mengubah sidik jari atau pemindaian iris mereka seperti halnya mengubah kata sandi. Oleh karena itu, keamanan penyimpanan dan pengelolaan data biometrik harus sangat ketat.
Ketiga, ketergantungan pada teknologi. Teknologi tokenisasi dan biometrik membutuhkan infrastruktur teknologi yang kuat. Jika terjadi masalah teknis, seperti kegagalan sistem atau masalah dalam pembacaan data biometrik, ini dapat menghambat proses transaksi dan menyebabkan ketidaknyamanan bagi pengguna.
Langkah Mastercard untuk mengimplementasikan teknologi tokenisasi dan biometrik di Eropa pada tahun 2030 merupakan bagian dari tren global dalam meningkatkan keamanan dan kenyamanan transaksi keuangan. Dengan semakin canggihnya kejahatan siber, teknologi ini diharapkan menjadi solusi yang efektif, meskipun ada tantangan dalam hal biaya dan keamanan data biometrik.
Di Indonesia, adopsi teknologi ini akan membawa dampak positif bagi pasar kartu kredit yang sedang berkembang, meskipun perlu diimbangi dengan edukasi dan peningkatan infrastruktur. Dengan demikian, masa depan pembayaran digital di Indonesia dan Asia Tenggara secara keseluruhan terlihat menjanjikan dengan adanya teknologi yang lebih aman dan efisien. ■
Foto: information-age.com