Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada Februari 2021 telah merilis Roadmap (peta jalan) Pengembangan Perbankan Indonesia (RP2I) 2020-2025 yang fokus mengatur digitalisasi perbankan. Lahirnya RP21 didasarkan pada kenyataan bahwa pandemi telah mendorong transaksi dan layanan keuangan secara digital dan virtual di Indonesia.
OJK sebagai otoritas pengawas keuangan bertekad mempercepat transformasi digitalisasi perbankan Indonesia, menempatkannya sebagai prioritas terpenting kedua yang harus dijalankan dalam peta pengembangan industri di Indonesia.
RP2I berisi kebijakan jangka pendek dan struktural. Ada empat pilar, pertama yang jadi sangat penting penguatan struktur dan keunggulan kompetitif. Kedua, akselerasi digital perbankan. Ini poin yang sangat penting yang perlu dicermati perbankan. Bukan lagi satu keharusan melainkan keniscayaan bila tak mau ditinggalkan nasabah.
Dalam 2-3 tahun belakangan ini, bank seperti mendapat ‘serangan’ dari perusahaan financial technology (fintech) yang terlihat agresif dan sangat lincah memanfaatkan teknologi untuk menciptakan efisiensi dan personalisasi layanan bagi konsumen. Fintech-lah yang mendisrupsi layanan utama perbankan di era digital.
EY Global dalam laporan Global FinTech Adoption Index mengungkapkan tingkat adopsi fintech pada 2019 telah melesat lebih dari dua-pertiga di seluruh dunia, atau sebesar 64%. Angka itu naik dari posisi 2015 yang masih berada di level 16%. Dengan kata lain, tiga dari empat konsumen dunia telah menggunakan layanan fintech.
Booming teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) saat ini agaknya perlu dimanfaatkan perbankan dan ini dipastikan akan menjadi solusi utama bila bank mau tetap relevan dengan perkembangan teknologi, tak mau ditinggalkan nasabah dan tidak mau dilibas kompetitornya.
Tapi bagi bank kelas dunia macam JP Morgan, apa yang dilakukan perusahaan-perusahaan fintech sama sekali tidak menganggu, apalagi mengancam. Dalam laporan “Digital Transformation and The Rise of Fintech: Blockchain, Bitcoin and Digital Finance 2021,” JP Morgan melihat fintech hanya melakukan apa yang bank bisa lakukan namun bank enggan melakukannya, seperti penghapusan biaya-biaya tak perlu dalam satu transaksi.
Fintech benar-benar memanfaatkan teknologi yang sejatinya bisa dilakukan oleh bank biasa, namun implementasinya cenderung lambat dibandingkan fintech. Booming teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) saat ini agaknya perlu dimanfaatkan perbankan dan ini dipastikan akan menjadi solusi utama bila bank mau tetap relevan dengan perkembangan teknologi, tak mau ditinggalkan nasabah dan tidak mau dilibas kompetitornya.
Dengan nilai ekonomi AI yang diperkirakan McKinsey mencapai US$1 triliun per tahun, penggunaan AI memungkinkan bank meraih keuntungan dari kenaikan laba, turunnya biaya operasional, turunnya risiko kesalahan tataran operasional, serta munculnya peluang-peluang baru.
Bahkan, dengan kemunculan generative AI, produktivitas dan nilai ekonomi global bahkan akan mengalami peningkatan signifikan. Penelitian terbaru McKinsey yang menganalisis 63 kasus penggunaan teknologi generative AI memperkirakan teknologi ini dapat menambah nilai ekonomi sebesar US$2,6 triliun hingga US$4,4 triliun setiap tahun. Jumlah ini setara dengan 15%-40% dari total dampak kecerdasan buatan secara keseluruhan.
Generative AI adalah AI yang dibangun menggunakan machine learning dan memiliki kemampuan untuk menghasilkan konten, bahkan konten kreatif seperti teks, musik, hingga seni digital. Generative AI mengolah konten yang sudah ada dalam jumlah besar untuk melatih model untuk menghasilkan konten baru. Mereka belajar untuk mengidentifikasi pola yang mendasari dalam kumpulan data berdasarkan distribusi probabilitas dan, ketika diberi perintah, membuat pola serupa. ChatGPT, DALL-E, dan Bard adalah contoh aplikasi generative AI yang saat ini paling banyak digunakan.
AI adalah teknologi yang hidup dari data, dan bank adalah bisnis informasi dengan data berukuran terabyte. Salah satu terobosan dalam AI adalah pembelajaran yang diawasi, yang memungkinkan mesin meniru proses pengambilan keputusan manusia berdasarkan jutaan contoh. Kemajuan ini menjadikan peralihan ke model bisnis yang mengutamakan AI sebagai sebuah kemajuan alami bagi bank, yang memimpin strategi digital dan mobile-first.
Kembali pada bagaimana bank menjadi AI first, Marsh McLennan, perusahaan jasa profesional terkemuka di dunia dalam bidang risiko, strategi, dan sumber daya manusia, mengungkapkan jika diterapkan dengan benar dalam lima hingga tujuh tahun ke depan, AI dapat meningkatkan pendapatan bank sebesar 30% dan berpotensi mengurangi biaya sebesar 25% atau bahkan bisa lebih.
AI adalah teknologi yang hidup dari data, dan bank adalah bisnis informasi dengan data berukuran terabyte. Salah satu terobosan dalam AI adalah pembelajaran yang diawasi, yang memungkinkan mesin meniru proses pengambilan keputusan manusia berdasarkan jutaan contoh. Kemajuan ini menjadikan peralihan ke model bisnis yang mengutamakan AI sebagai sebuah kemajuan alami bagi bank, yang memimpin strategi digital dan mobile-first.
Namun, ini agaknya sebuah ironi, hingga saat ini, sebagian besar bank masih belum menerapkan pendekatan AI yang tepat. Perbankan belum punya strategi yang jelas dan mungkin belum ada satu pun bank di Indonesia yang punya roadmap AI.
Padahal, AI adalah masa depan perbankan. Bank saat ini cuma memunculkan teknologi AI yang menurut istilah Marsh McLennan disajikan secara à la carte minus strategi yang jelas. Buntutnya adalah kegagalan sebagai konaekuensi inisiatif AI yang tidak efisien.
Bank memerlukan strategi AI yang jelas untuk melakukan transformasi digital dengan secara presisi. Jika mereka tidak punya strategi jitu, bank lain yang menguasai AI akan menawarkan layanan yang lebih disesuaikan kepada nasabahnya dengan biaya lebih rendah.
Strategi AI yang paling sukses, merujuk Marsh McLennan, didorong oleh empat pilar, yakni bagaimana bank meningkatkan aset data, meningkatkan infrastruktur untuk memungkinkan eksperimen yang luas, merekrut karyawan untuk mencari kasus penggunaan AI baru, dan mencari cara AI dapat memecahkan masalah pelanggan selain menyediakan layanan perbankan.
Meningkatkan aset data
Saat ini bank menghadapi persoalan serius dalam mengatur datanya. Sebagian besar model AI untuk perbankan relatif mudah dibuat, disalin, atau dibeli. Padahal, yang membuatnya berharga adalah data yang mudah diakses, dimuat, dan dipersiapkan untuk algoritma AI. Dalam mengadopsi AI bank punya masalah serius dalam hal data. Interaksi pelanggan di dalam cabang hanya dicatat sebagian, meskipun percakapan ini merupakan aset paling berharga yang dimiliki bank karena terkait dengan profil pelanggan.
Bahkan, di beberapa bank pencatatan ada yang masih manual sekali, ditulis di atas kertas dan discan untuk kemudian disimpan. Ke depan, bank perlu mengembangkan cara sistematis untuk membangun aset datanya, menggunakan akses cepat ke sumber internal dan eksternal, dengan data historis dan real-time. Pada saat yang sama, bank perlu menyeimbangkan pengumpulan data secara proaktif dan pencarian data yang reaktif ketika perusahaan berupaya menerapkan aplikasi AI tertentu. Tujuannya adalah untuk menangkap dan menimbun data yang relevan dengan model AI.
Bank memerlukan strategi AI yang jelas untuk melakukan transformasi digital dengan secara presisi. Jika mereka tidak punya strategi jitu, bank lain yang menguasai AI akan menawarkan layanan yang lebih disesuaikan kepada nasabahnya dengan biaya lebih rendah.
American Express misalnya, memanfaatkan kekuatan datanya , yang berasal dari lebih dari 100 juta kartu kredit yang dikenakan biaya lebih dari US$1 triliun setiap tahunnya, dengan memigrasikan banyak proses tradisionalnya dari mainframe lama ke database data besar. Dengan menggunakan algoritma pembelajaran mesin, Amex kini dapat menggunakan data pengeluaran pemegang kartu di lebih dari 100 variabel untuk memberikan penawaran yang disesuaikan guna menarik dan mempertahankan pelanggan. Amex juga memanfaatkan informasi ini untuk mencocokkan pedagang dengan pelanggan yang cenderung membelanjakan lebih banyak (royal) dan setia (loyal).
Terapkan AI dalam skala besar
Agar efektif, bank yang mengutamakan AI perlu menerapkan model AI dalam skala besar. Hal ini berarti menghadapi kemungkinan ribuan model berjalan setiap saat, beberapa di antaranya melayani jutaan pelanggan atau meninjau jutaan transaksi per hari. Banyak dari model ini akan dikalibrasi ulang setiap bulan, bahkan ada yang setiap hari.
Menerapkan satu model AI tidak terlalu sulit, tetapi menerapkannya pada satu juta orang merupakan sebuah tantangan karena sifat konteks klien yang tidak dapat diprediksi. Dan mengelola banyak model, bahkan ratusan model, meningkatkan tingkat kesulitan beberapa tingkat lagi di atasnya.
Salah satu masalahnya adalah AI itu seperti alkimia: Kita tidak sepenuhnya memahami mengapa AI bisa berfungsi dan kapan AI bisa rusak. Misalnya, dalam menilai kelayakan kredit, sebuah model yang belum teruji dengan baik mungkin akan mengambil kesimpulan mengenai seseorang hanya berdasarkan beberapa data saja, seperti alamat rumah atau tingkat pendidikan.
Bank perlu mengembangkan infrastruktur mereka dengan satu platform penerapan yang jelas di seluruh organisasi dan metode pengelolaan model. JPMorgan Chase, misalnya, tahun lalu menganggarkan US$10,8 miliar untuk investasi teknologi dimana lebih dari US$5 miliar dialokasikan untuk investasi baru. Investasi ini telah memungkinkan beberapa inisiatif AI dalam skala besar, termasuk otomatisasi rutin yang dapat memproses 12.000 perjanjian kredit dalam hitungan detik — yang biasanya memerlukan 360.000 jam kerja untuk peninjauan manual; analisis transaksi pelanggan untuk mendukung perdagangan tindak lanjut; dan chatbot yang akan membebaskan orang-orang untuk melakukan tugas-tugas tingkat tinggi sambil memberikan dukungan pelanggan terbaik 24/7.
Menanamkan AI dalam budaya perusahaan
Marsh McLennan juga melihat bahwa penting bagi karyawan untuk melihat AI sebagai sebuah peluang, bukan sebagai ancaman terhadap keamanan kerja mereka. AI dapat diterapkan secara luas untuk mendukung manusia dan mengotomatiskan proses sepenuhnya. Untuk mengidentifikasi peluang potensial, karyawan perlu mencari peluang tersebut. Dengan menggunakan robot untuk melakukan tugas-tugas yang bersifat hafalan dan berulang-ulang, organisasi akan dapat membuka jalur bagi model bisnis baru yang melayani klien dengan lebih baik sekaligus meluangkan waktu karyawan untuk pekerjaan tingkat yang lebih tinggi.
Chatbot ABIE berbasis web dari Allstate Business Insurance Expert, misalnya, membantu agen mengutip dan menerbitkan produk Allstate Business Insurance tanpa melibatkan pusat panggilan, sehingga memungkinkan mereka menjual lebih banyak asuransi. ABIE menjawab pertanyaan dan menemukan dokumen penting. Teknologi ini memahami konteks agen — siapa mereka, produk apa yang sedang mereka kerjakan, dan di mana mereka berada dalam proses tersebut.
HSBC juga bekerja sama dengan Ayasdi, sebuah startup AI di Silicon Valley, untuk mengotomasi investigasi pencucian uang yang biasanya dilakukan oleh manusia. HSBC membuat pohon keputusan untuk menunjukkan bagaimana keputusan dibuat, dengan tujuan untuk menghindari “kotak hitam” terhadap pembelajaran mesin, yang tidak dapat diizinkan di sektor keuangan yang diatur secara ketat. HSBC mengklaim telah menemukan banyak pola baru yang berkorelasi langsung dengan penipuan — serta mengurangi peringatan palsu HSBC sebesar 20%.
Batasan antara perbankan, nasihat keuangan, dan layanan konsultasi lainnya semakin kabur. AI hanya akan mempercepat tren ini. Hal ini memberikan peluang bagi bank untuk menjadi penasihat keuangan tepercaya dalam berbagai masalah, mulai dari pembelian mobil hingga nasihat kesehatan. Banyak bisnis lain yang menunjukkan bahwa jika Anda fokus pada masalah pelanggan, keuntungan akan mengikuti.
Memperluas layanan AI selain perbankan
Batasan antara perbankan, nasihat keuangan, dan layanan konsultasi lainnya semakin kabur. AI hanya akan mempercepat tren ini. Hal ini memberikan peluang bagi bank untuk menjadi penasihat keuangan tepercaya dalam berbagai masalah, mulai dari pembelian mobil hingga nasihat kesehatan. Banyak bisnis lain yang menunjukkan bahwa jika Anda fokus pada masalah pelanggan, keuntungan akan mengikuti.
Ping An, penyedia layanan keuangan pertama di Tiongkok yang memiliki AI, telah menerapkan layanan Good Doctor AI. Hal ini memungkinkan diagnosis masalah kesehatan dari jarak jauh, menggunakan chatbot untuk memahami situasi pasien, memberikan diagnosis awal, dan mengarahkan pasien ke dokter yang paling sesuai. Platform ini mengelola 300.000 hingga 400.000 konsultasi setiap hari, dengan sekitar 1.000 profesional medis memberikan masukan berkelanjutan.
Empat pilar Marsh McLennan di atas tampaknya mutlak perlu dijadikan acuan bank untuk menjadi ‘AI first” dengan strategi yang jelas, bukan sekadar asal adopai teknologi. Tak bisa tidak, bank harus meningkatkan aset data, meningkatkan infrastruktur untuk memungkinkan eksperimen yang luas, merekrut karyawan untuk mencari kasus penggunaan AI baru, dan mencari cara AI dapat memecahkan masalah pelanggan selain menyediakan layanan perbankan. ■