Tren permintaan KPR Syariah yang terus meningkat menjadi berkah tersendiri untuk BTN Syariah. Unit usaha syariah PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN) ini membukukan lonjakan pembiayaan sepanjang tahun 2023 silam. Di saat yang sama, pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) mampu mengimbangi laju kenaikan pembiayaan, sehingga rasio intermediasi (financing to deposit ratio/FDR) tetap terjaga di level ideal.
BTN Syariah mencatatkan nilai pembiayaan sebesar Rp37,1 triliun pada akhir 2023, melonjak 17,4% dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar Rp31,6 triliun. Pencapaian ini berdampak signifikan pada peningkatan nilai aset sebesar 19,79% menjadi Rp54,3 triliun pada akhir 2023 dari Rp45,3 triliun pada posisi yang sama tahun sebelumnya.
Direktur Utama BTN Nixon L.P Napitupulu menjelaskan lonjakan bisnis BTN Syariah dipicu oleh tren di masyarakat yang menginginkan pembiayaan rumah dengan akad syariah. Permintaan tertinggi terjadi di sejumlah daerah dengan populasi muslim terbesar seperti di Provinsi Aceh, Jawa Barat, Sumatera Barat hingga Nusa Tenggara Barat (NTB).
Selain faktor keyakinan, KPR syariah diminati karena skema pembiayaannya memberikan rasa tenang dan nyaman pada nasabah. Pada KPR syariah, imbal hasil maupun besaran angsuran sudah ditetapkan sejak awal dan berlangsung sepanjang periode perjanjian. Maka itu, skema ini dinilai bisa melindungi nasabah dari risiko fluktuasi suku bunga yang dapat berubah mengikuti kondisi makro ekonomi.
Dari total pembiayaan yang disalurkan BTN Syariah, porsi KPR menyumbang 98% atau senilai Rp36,6 triliun per akhir Desember 2023. Produk KPR syariah bersubsidi berkontribusi Rp22,9 triliun atau sebanyak 61% sedangkan KPR non subsidi menyumbang Rp11,6 triliun atau mencapai 31,3%.
Nilai pembiayaan yang melonjak tinggi ini berhasil diimbangi dengan kenaikan dana pihak ketiga (DPK). Sepanjang 2023 lalu, BTN syariah mengumpulkan DPK senilai Rp41,8 triliun, melesat 41,8% dibandingkan tahun sebelumnya. Menariknya, separuh dari total DPK ini berupa dana murah (current account saving account/CASA) atau senilai Rp20,9 triliun.
“Rasio CASA terus kami tingkatkan selama lima tahun terakhir, dari hanya 37% pada 2019 menjadi 50% pada 2023. Dampak positifnya, rasio biaya dana (cost of fund) berhasil kami tekan dari 6,25% menjadi 3,72% pada kurun waktu yang sama. Artinya, kami bukan hanya menjadi lebih kompetitif juga semakin sehat,” kata Nixon.
Jumlah DPK yang lebih tinggi dari nilai pembiayaan membuat FDR BTN Syariah berada di level 88,8%. Rasio ini menunjukkan dua hal. Pertama. manajemen mampu mengoptimalkan fungsi intermediasi. Kedua, manajemen berhasil menjaga kecukupan likuiditas di saat melakukan ekspansi.
Catatan saja, selama lima tahun terakhir, BTN Syariah terus memperbaiki angka FDR. Pada 2019 rasio intermediasi sempat mencapai 108%, lalu berhasil diturunkan menjadi 105%, 94%, 91% dan terakhir 88% pada 2023.
Selain makin berotot, BTN Syariah juga semakin seksi. Hal ini terlihat jelas pada indikator kualitas aset yang berhasil diperbaiki selama lima tahun terakhir. Rasio pembiayaan bermasalah (non performing financing/NPF) per akhir Desember 2023 hanya sebesar 2,4% (gross). Bandingkan dengan NPF tahun 2022 yang sebesar 3,3%, atau 7,6% jika ditarik ke posisi NPF pada tahun 2019.
Berbagai pencapaian itu berdampak signifikan ke perolehan laba bersih yang mencapai Rp702,3 miliar, atau melonjak 110,5% dibandingkan perolehan laba bersih tahun sebelumnya sebesar Rp333,6 miliar.
Ditinjau dari sisi manapun, BTN Syariah bukan hanya layak di spin off juga mampu menampung bank syariah lain untuk di merger. “Setelah merger dan menjadi BUS, kami optimistis BTN Syariah akan tumbuh lebih pesat lagi dan memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat serta berkontribusi signifikan untuk memajukan industri perbankan syariah,” kata Nixon.
Catatan saja, BTN tengah melakukan proses uji tuntas (due diligence) terhadap Bank Muamalat. Proses ini akan menentukan kelanjutan agenda akuisisi dan merger. Kementerian BUMN sendiri menargetkan agenda korporasi ini bisa dituntaskan pada semester I-2024 ini. ■