Tren, peluang dan tantangan perbankan dalam mendorong pembiayaan berkelanjutan di  Indonesia

- 29 Oktober 2023 - 08:12

PARA ILMUWAN MEMPERKIRAKAN umur planet bumi saat ini telah mencapai sekitar 50 juta tahun. Sangat tua. Dan seperti kebanyakan manusia berusia lanjut, bumi mulai digerogoti bermacam penyakit.  Kabar buruknya, ‘organ-organ’ bumi sudah banyak yang rusak. Hasil ‘medical check-up’ bumi menunjukkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan atau istilah kerennya deteriorasi lingkungan yang ditandai dengan hilangnya sumber daya tanah, air, udara, punahnya flora dan fauna liar serta kerusakan ekosistem.

Bukan hanya turun kualitasnya, bumi dan lingkungan di dalamnya sudah ‘sakit’ dengan stadium yang berbeda-beda di masing-masing benua. Ada dua faktor yang mempengaruhi terjadinya kerusakan lingkungan, yakni faktor alam seperti banjir dan gempa bumi serta faktor manusia seperti penebangan hutan secara serampangan atau pembuangan limbah industri yang dihasilkan pabrik yang tanpa kendali. Ini sangat mengerikan dan semuanya akan bermuara pada terjadinya pemanasan global.

Asap dan gas rumah kaca yang dilepaskan industri ke udara secara akumulatif, memicu terjadinya peningkatan pemanasan global yang ditandai dengan mencairnya gletser serta berkurangnya satwa di kutub, banjir, tsunami atau angin topan. Tapi itu hanya segelintir dampak mengerikan dari efek pemanasan global. Dampak lainnya yang tak kalah dasyat adalah terjadinya perubahan iklim (climate change) dalam kurun waktu tiga dekade belakangan ini. Sebenarnya, perubahan iklim, adalah hal yang alami, yang nature. Tapi sejak periode 1800-an, aktivitas manusia telah menjadi pendorong utama perubahan iklim, terutama dengan pembakaran bahan bakar fosil (seperti batu bara, minyak, dan gas).

Itu tadi berita buruknya. Good news-nya, sebenarnya, meskipun waktunya tak banyak, kita masih punya banyak kesempatan untuk memperbaiki bumi. Salah satu yang kini menjadi tema sentral global adalah keuangan berkelanjutan (sustainable finance) yang misinya mengubah paradigma pembangunan nasional dari ‘greedy economy‘ menjadi ‘green economy‘.

Saat dunia berpesta dengan ‘greedy economy’, fokus ekonomi hanya terbatas pada pertumbuhan yang dinilai melalui pertumbuhan  Produk Domestik Bruto (Gross Domestic Product/GDP), melakukan eksploitasi  kekayaan alam, dan aktivitas ekonomi yang bertumpu pada utang. Ini jelas bertolak  belakang dengan ‘green economy‘, dimana aktivitas perekonomian diarahkan seoptimal mungkin untuk tidak merusak lingkungan. So, the party is over. Waktunya manusia di bumi ‘cuci piring’, membenahi lingkungan and It is never too late.

Baca juga: HSBC Indonesia kucurkan pembiayaan hijau US$10,3 juta ke Euroasiatic

Pembiayaan berkelanjutan dibuat sebagai konsep dukungan dari sektor jasa keuangan untuk menciptakan pertumbuhan dengan menyelaraskan kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup. Konsep ini diwujudkan melalui penerbitan instrumen seperti green loan dan green bond, skema pembiayaan khusus untuk proyek-proyek yang mendukung keberlanjutan.

Saat ini perhatian institusi keuangan dunia terfokus pada bagaimana mewujudkan praktik bisnis berkelanjutan menuju ekonomi nol emisi karbon (net zero emission), yakni situasi di mana jumlah jejak karbon yang bersumber dari aktivitas manusia tidak melebihi jumlah emisi yang dapat diserap bumi. Para pemimpin bisnis ketika peralihan menuju net zero emission semakin meningkat, sebenarnya dihadapkan pada tekanan yang sangat besar; ditantang untuk mewujudkan pembangunan sosio-ekonomi, sekaligus memenuhi target dekarbonisasi yang ditentukan secara nasional. Perusahaan juga dipaksa bisa beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim terhadap operasional bisnis, risiko, dan profitabilitas mereka. Tekanan-tekanan ini tentunya akan semakin meningkat di masa mendatang.

The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), sebuah panel antarpemerintah mengenai perubahan iklim, dalam satu publikasinya mengungkapkan bahwa 11 negara di Asia saat ini menghadapi risiko ketidakamanan energi dan sistem industri yang tinggi, sehingga menambah ketidakpastian perubahan iklim seiring dengan pertumbuhan populasi mereka. Bahkan, Bank Dunia memperkirakan Asia Timur dan Pasifik akan memiliki 11,8 juta orang yang hidup dalam kemiskinan pada 2030 atau meningkat hampir 64% akibat perubahan iklim.

Lantas bagaimana mengatasinya? Solusinya seperti apa? Harus mulai dari mana dan oleh siapa? Seperti dikatakan Akihiko Nishio, Vice President of Development Finance World Bank, perubahan iklim tidak dapat diatasi dengan solusi sederhana di satu sektor, satu negara, atau satu organisasi. “Climate change cannot be addressed with simple single-sector, single-country, or single-organisation solutions.

Ajang Conference of The Parties 28 (COP-28), sebuah konferensi anggota The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) ke-28 yang akan berlangsung 30 November-12 Desember 2023 di Dubai, Uni Emirat Arab, agaknya akan menjadi momen bersejarah bagi dunia untuk meninjau kemajuan masing-masing negara yang telah meneken Perjanjian Paris, sebuah kesepakatan global monumental untuk menghadapi perubahan iklim.

Baca juga: Traveling ke luar negeri jadi gaya hidup nasabah tajir, HSBC upgrade layanan premiernya

Komitmen negara-negara dinyatakan melalui Nationally Determined Contribution (NDC) untuk periode 2020-2030. Ini adalah komitmen bersama untuk menahan laju kenaikan suhu rata-rata global di bawah 2°C di atas suhu di masa praindustrialisasi dan melanjutkan upaya untuk membatasi kenaikan suhu hingga 1,5°C di atas suhu di masa praindustrialisasi. Pemerintah Indonesia juga menandatangani Perjanjian Paris.

Tren global pembiayaan berkelanjutan

Simultan dengan usaha mengatasi perubahan iklim, institusi keuangan dunia juga memberikan kontribusi melalui pembiayaan berkelanjutan. Ada beberapa jenis pembiayaan berkelanjutan yang menjadi tren global. Pertama adalah green financing. Ini adalah model pembiayaan yang didedikasikan untuk proyek-proyek terkait dengan energi terbarukan, efisiensi energi, pengurangan emisi karbon, dan perlindungan lingkungan.

China tampaknya ingin menjadi yang terdepan dalam green financing. Presiden China Xi Jinping memerintahkan kepada seluruh bank di China untuk turut serta mengembangkan green financing demi mewujudkan cita-cita China  sebagai negara terdepan dalam urusan peradaban ekologi dunia.

Kemudian ada pembiayaan berkelanjutan lainnya yang disebut social impact investing. Ini jenis investasi yang bertujuan untuk mencapai keuntungan finansial sekaligus dampak sosial yang positif, seperti investasi dalam sektor pendidikan, kesehatan atau perumahan murah.

Terkait emisi karbon, dalam pembiayaan berkelanjutan juga dikenal sustainability-linked loans, yakni jenis pinjaman yang memiliki persyaratan khusus terkait pencapaian target keberlanjutan oleh peminjam, seperti pengurangan emisi karbon atau peningkatan efisiensi energi. Ada pula green bonds (obligasi yang diterbitkan untuk membiayai proyek-proyek hijau, seperti pembangkit listrik tenaga terbarukan atau transportasi ramah lingkungan), ESG investing (investasi yang mempertimbangkan faktor-faktor lingkungan, sosial, dan tata kelola perusahaan/ESG dalam pengambilan keputusan investasi) dan circular economy financing (pembiayaan yang didedikasikan untuk mendukung transisi dari ekonomi linier yang menggunakan sumber daya secara terbatas menjadi ekonomi sirkular yang mengoptimalkan penggunaan sumber daya dan mengurangi limbah).

Tren global pembiayaan berkelanjutan ini mencerminkan adanya peningkatan kesadaran akan pentingnya keberlanjutan dalam aspek finansial dan investasi, serta dorongan untuk mengalokasikan dana ke sektor-sektor yang berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan.

Baca juga: HSBC luncurkan galeri metaverse untuk mendukung seniman lokal

Mengingat akumulasi kerusakan bumi sudah terjadi dalam jangka panjang, target nol emisi karbon pada 2050 tentu bukanlah perkara mudah. Juga tak murah. Kalkulasi Boston Consulting Group dan Global Financial Markets Association  mengungkapkan, upaya menekan emisi karbon bumi diperkirakan membutuhkan biaya hingga US$150 triliun dalam tiga dekade ke depan. Sementara kawasan Asia, membutuhkan US$66 triliun atau hampir separuh kebutuhan dunia. Dari angka ini terlihat jelas bahwa kawasan Asia memiliki peranan penting dalam mencapai target global untuk emisi nol dan itu biayanya teramat besar.

‘Harga’ yang mesti dibayar dari kerusakan lingkungan global memang sangatlah mahal. Apalagi, ini ironis dan yang sangat disayangkan, di tengah upaya pemerintah menekan emisi karbon melalui proses transisi menuju energi bersih, beberapa bank nasional, bank BUMN dan swasta, sampai dengan tahun 2023 masih saja menyalurkan kredit untuk pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara baru. Padahal kita sama-sama tahu dari proyek tersebut akan dihasilkan emisi karbon jutaan ton CO2 yang mengancam keberlangsungan bumi.

Padahal, mengutip hasil penelitian Celios terakhir, bisnis pembiayaan PLTU batu bara tidak feasible alias tak layak secara ekonomi. Jika terus dibiayai, proyek ini justru berpotensi merugikan investor, termasuk kreditor dan pemegang obligasi. Dan, masih banyak risiko lainnya, termasuk peningkatan pajak karbon serta kemungkinan batu bara ditinggalkan ketika dunia beralih ke sumber energi bersih seperti tenaga surya dan angin.

Bahkan dalam satu statement-nya di media, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan ada risiko bom waktu kredit macet karena ekonomi yang tidak feasible di mana tren di seluruh dunia mulai meninggalkan batu bara, dan efeknya akan sistemik. Dia menggarisbawahi, hanya bank nekat yang masih mau membiayai batu bara.

Tapi, apakah cuma batu bara biang keladinya? Tentu tidak. Industri lain juga punya kontribusi, hanya saja tak sebesar sektor energi. Emisi karbon dari sektor energi yang dihasilkan dari pembakaran minyak, gas, dan batu bara, terus meningkat di skala global.

Merujuk data Energy Institute, emisi karbon dioksida (CO2) yang dihasilkan sektor energi global sepanjang 2022 mencapai 34,37 miliar ton CO2. Ini jumlah terbesar sepanjang sejarah bumi. Tiongkok tercatat sebagai negara penyumbang emisi karbon sektor energi terbesar, yakni mencapai 10,55 miliar ton CO2 atau setara dengan 30,69% dari total emisi global. Amerika Serikat menempati peringkat kedua, yang menghasilkan 4,82 miliar ton CO2 sepanjang tahun lalu, setara dengan 14% produksi emisi global. Kemudian India dan Rusia menyusul di urutan berikutnya, dengan emisi sektor energi masing-masing 2,59 miliar ton CO2 dan 1,45 miliar ton CO2.

Baca juga: HSBC rilis produk investasi berbasis metaverse untuk orang kaya di HK dan Singapura

Lantas di mana posisi Indonesia? Kita ternyata berada di posisi 10 besar negara yang paling banyak menyumbangkan emisi karbon dari sektor energi, tepatnya di posisi ke-6 dunia dengan sumbangan emisi sektor energi 691,97 juta ton CO2. Pemerintah Indonesia telah mencanangkan target nol emisi  karbon pada 2050 dan itu hanya bisa terwujud bila mendapat dukungan dan partisipasi dari seluruh stakeholder yang terkait dengan industri di dalam negeri.

Data soal emisi karbon itu jelas mengkhawatirkan sekaligus mengerikan. Kondisi itulah yang mendorong Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan regulasi terkait nol emisi karbon. Seperti diungkapkan Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar, OJK akan terus mengarahkan sektor keuangan untuk memenuhi komitmen pemerintah Indonesia dalam Nationally Determined Contribution (NDC) dan pembangunan berkelanjutan (SDG’s) di 2030.

Sejumlah inisiatif dibuat OJK untuk mendukung sektor keuangan dalam memenuhi target tersebut a.l. pada 2015 OJK telah mengeluarkan road map atau peta jalan pembiayaan berkelanjutan dengan tujuan membangun kesadaran mengenai keuangan berkelanjutan serta membangun ekosistemnya. Dengan adanya road map yang jelas, maka supply dan demand dana ramah lingkungan dan meningkatkan penerapan keuangan berkelanjutan pada industri jasa keuangan bisa terus diperluas.

OJK juga telah menerbitkan Taksonomi Hijau versi 2 sebagai panduan komprehensif bagi pelaku sektor jasa keuangan yang mengacu pada model yang dikembangkan secara global. Taksonomi Hijau ini mengacu pada model yang dikembangkan secara global, yang harus mencakup taksonomi ASEAN untuk keuangan berkelanjutan versi 2. Orientasi pembiayaan berkelanjutan diarahkan pada entitas yang mempromosikan dan menerapkan kebijakan yang memenuhi tujuan SDG’s.

Taksonomi Hijau adalah sistem klasifikasi, yang menetapkan daftar kegiatan ekonomi yang ramah lingkungan, dengan kata lain klasifikasi berdasarkan kegiatan usaha yang mendukung upaya perlindungan lingkungan hidup dan mitigasi serta adaptasi perubahan iklim. Kerja sama yang melibatkan berbagai pihak untuk memitigasi dan beradaptasi terhadap perubahan iklim menjadi solusi utama dalam memastikan investasi pendukung telah memenuhi kategori berkelanjutan dengan mengintegrasikan aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola.

Baca juga: Wuling Multifinance dapat kucuran fasilitas kredit Rp1,2 triliun dari HSBC Indonesia

Selain itu ada juga program business matching yang difasilitasi oleh OJK antara pemilik proyek hijau dan potensi keuangan untuk mendorong pembiayaan serta investasi yang lebih besar di sektor ini. OJK juga telah meluncurkan beberapa insentif di bidang penerbitan obligasi hijau dan pembiayaan untuk ekosistem kendaraan listrik, serta melakukan kolaborasi internasional di antara pemangku kepentingan.

Dan yang terakhir, OJK telah meluncurkan kerangka kerja dan regulasi perdagangan karbon (bursa karbon) yang telah diresmikan Presiden Joko Widodo, 26 September 2023 lalu. Pertukaran ini dimaksudkan untuk menyediakan mekanisme pasar yang akan membantu mendukung NDC pemerintah sembari menyeimbangkan transisi bertahap menuju ekonomi berkelanjutan.

Berdasarkan hasil pembahasan di United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) dalam COP26 di Glasgow, Skotlandia, pada 2021, Indonesia diperkirakan akan mencapai NDC dalam pengurangan CO2 lebih dari 42% dengan kerja sama internasional. Biaya yang diperlukan mencapai US$280 miliar. Pembiayaan itu akan diperoleh dari APBN, penerbitan green sukuk, dan juga membuka kemitraan dengan blended finance.

Dengan ekonomi yang terus bertumbuh, elastisitas permintaan energi akan jauh lebih tinggi. Setiap pertumbuhan ekonomi 5% akan menyebabkan pertambahan kebutuhan energi, sehingga pemerintah perlu terus menyesuaikan pertumbuhan ekonomi tanpa memperburuk emisi karbon.

Dari inisiatif OJK, bank-bank diharapkan membiayai sektor-sektor ekonomi atau lapangan usaha yang ramah lingkungan. Pasca diluncurkannya taksonomi hijau, perbankan di Indonesia tampaknya mulai membatasi pendanaan ke sektor batubara, dan perlahan mendorong portofolio kredit keuangan berkelanjutan guna mewujudkan ekonomi hijau. Perbankan mulai memangkas pendanaan ke sektor batubara atau industri-industri yang berpotensi mencemari dan merusak lingkungan. Artinya, perbankan nasional mulai menyadari pentingnya pembiayaan berkelanjutan demi keberlanjutan bumi. Tak bisa langsung meninggalkan begitu saja pembiayaan konvensional lalu berpindah ke green finance, tapi bertahap.

Demikian pula halnya dengan HSBC. Sebagai bank terdepan di kawasan Asia, HSBC juga menunjukkan peran dan kontribusinya dalam pembiayaan berkelanjutan. Salah satu langkah nyata HSBC adalah dengan menghentikan pembiayaan kepada pembangkit batu bara yang dimulai dari Uni Eropa pada 2030, sebelum akhirnya di semua kawasan di 2040.

HSBC dan bank-bank global lain juga berperan aktif membentuk Net-Zero Banking Alliance untuk bisa mendorong investasi dan pembiayaan untuk memerangi krisis iklim. Didirikan April 2021, aliansi tersebut kini beranggotakan 115 bank dari 41 negara, dengan total aset mencapai US$70 triliun atau setara dengan 38% aset perbankan global.

Baca juga: Komitmen Bank HSBC untuk pinjaman hijau

Khusus di Kawasan Asia Tenggara, Bank HSBC bekerja sama dengan Temasek memobilisasi dana guna proyek infrastruktur berkelanjutan. Didukung Asian Development Bank, inisiatif ini diharapkan bisa menggalang hingga US$1 miliar untuk disalurkan ke sektor energi baru dan terbarukan, pengelolaan air dan sampah, serta transportasi ramah lingkungan.

HSBC juga bermitra dengan World Resources Institute (WRI) dan Word Wide Fund for Nature (WWF) dalam Climate Solutions Partnership, sebuah kolaborasi yang diprakarsai oleh HSBC Group senilai US$100 juta untuk jangka waktu 5 tahun, dalam rangka mengatasi hambatan pembiayaan berkelanjutan bagi korporasi.

Menurut Celine Herweijer, Group Chief Sustainability Officer HSBC, pembiayaan berkelanjutan masih menemui berbagai kendala seperti minimnya kerangka kebijakan, gap antara ketersediaan dan penawaran, serta perangkat pengukuran usaha berkelanjutan. Meski demikian, mengutip situs resmi HSBC, tantangan yang ada tidak menghentikan bank ini untuk tetap membantu para nasabahnya memperoleh akses pembiayaan berkelanjutan yang dibutuhkan sesuai dengan sektor industri mereka masing-masing.

HSBC memiliki kerangka kerja serta para profesional ahli yang memiliki kapabilitas untuk mengkaji setiap rencana pengembangan bisnis berkelanjutan dari nasabahnya dan menentukan fasilitas pembiayaan berkelanjutan yang sejalan dengan kebutuhan. Secara khusus, HSBC di Indonesia siap bermitra dengan para pelaku bisnis dari berbagai sektor industri yang memenuhi kriteria ESG sesuai yang disyaratkan, guna membantu transformasi mereka menuju pengelolaan bisnis berkelanjutan.

“Ada banyak hal yang perlu disinkronkan, dan ini membutuhkan kolaborasi yang radikal antara bank, nasabah, investor, dan tentunya regulator dan akademisi. Yang pasti, dunia keuangan sudah memahami perannya yang sentral dalam mencapai target emisi nol,” kata Celine Herweijer.

HSBC Group telah berkomitmen mengalokasikan hingga US$1 triliun di bidang pembiayaan dan investasi hingga 2030 sebagai peran serta mendukung target emisi nol. Mulai dari bidang energi baru terbarukan, ekonomi sirkular, hingga ke infrastruktur berkelanjutan, transisi menuju ekonomi rendah karbon membuka peluang pertumbuhan usaha yang luas.

Sebagai Bank terbaik di Asia dalam keuangan berkelanjutan, HSBC memberikan solusi bagi dunia usaha dalam mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dan mendorong pilar lingkungan, sosial dan tata kelola (LST) atau environmental, social, and governance (ESG).

Di Indonesia, HSBC merupakan salah satu pelopor dalam mendukung agenda pembangunan berkelanjutan dengan mempermulus transisi bisnis menuju usaha berkelanjutan. Kerangka keuangan berkelanjutan HSBC juga sudah siselaraskan dengan Green Loan Principles yang  dicetuskan Loan Market Association, dimana HSBC memberikan Green Loan, Sustainability-linked Loans (SLL), Green Trade Finance, dan beberapa produk perbankan lainnya yang mendukung pembiayaan berkelanjutan.

Tapi menariknya, perusahaan dari sektor manapun dapat memanfaatkan SLL, baik peritel, usaha logistik, properti atau lainnya. Fasilitas pinjaman ini tidak terbatas hanya pada perusahaan sektor “hijau” seperti usaha energi terbarukan, melainkan perusahaan manapun yang terdorong untuk mempraktikkan usaha berkelanjutan terhadap lingkungan dan sosial kemasyarakatan.

Perusahaan di industri tekstil misalnya, tetap masih bisa memanfaatkan SSL selama bisa menargetkan peningkatan efisiensi air sebanyak 5% per tahun sepanjang jangka waktu pinjaman dan meningkatkan jumlah perempuan di posisi strategis. Demikian juga dengan pabrik pupuk, kalau pengusaha bisa menargetkan pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 4%, maka pendanaan pun bisa digulirkan.

Dalam satu wawancaranya dengan media, Presiden Direktur Bank HSBC Indonesia Francois de Maricourt mengatakan, selain berinvestasi di ekonomi digital Indonesia, HSBC kini memang gencar mengembangkan pembiayaan berkelanjutan. Indonesia, kata dia, merupakan negara yang potensial untuk menerapkan paradigma ESG. Selain itu, ada banyak sektor di Indonesia yang berpeluang mendapat pembiayaan berkelanjutan bila bertransisi ke operasi bisnis yang rendah karbon.

Baca juga: Susul JPMorgan, HSBC masuk ke metaverse berkolaborasi dengan The Sandbox

Francois melihat pembiayaan berkelanjutan di Indonesia sangat potensial dan akan menjadi masa depan yang menjanjikan, contohnya investasi dekarbonisasi ekonomi, low carbon energy dan semua yang terkait ESG. Apalagi, Indonesia merupakan salah satu negara di Asia Tengara yang memiliki risiko paling besar terkena dampak perubahan iklim.

Data Bank Pembangunan Asia mengungkapkan, perubahan iklim akan memangkas Pertumbuhan Domestik Bruto (GDP) negara-negara di Asia Tenggara sebesar 11% pada akhir abad ini. Artinya, akan semakin banyak perusahaan di Indonesia yang menerapkan prinsip berkelanjutan. Berdasarkan riset HSBC, lima pebisnis yang menjadi responden, menginvestasikan lebih dari 10% dari laba operasi mereka untuk meningkatkan keberlanjutan.

Peluang dan tantangan

Menilik apa yang diutarakan Francois de Maricourt soal pembiayaan berkelanjutan, sebenarnya ada banyak peluang di Indonesia yang bisa ditangkap perbankan. Di sektor energi terbarukan misalnya, bank kini bisa fokus dalam pembiayaan proyek-proyek energi terbarukan seperti pembangkit listrik tenaga surya, tenaga angin, hidro, dan biomassa yang dapat memberikan pengembalian investasi jangka panjang secara berkelanjutan. Pertumbuhan sektor energi terbarukan trennya diperkirakan akan terus meningkat karena tumbuhnya kesadaran akan dampak negatif energi fosil terhadap lingkungan.

Kemudian di sektor efisiensi energi. Pembiayaan proyek-proyek yang bertujuan meningkatkan efisiensi energi dalam sektor industri, bangunan, dan transportasi juga merupakan peluang yang menjanjikan yang mesti dibidik perbankan. Investasi pada teknologi canggih yang mengurangi konsumsi energi dapat memberikan penghematan biaya jangka panjang dan mengurangi emisi gas rumah kaca.

Lantas di sektor transportasi berkelanjutan. Pembiayaan kendaraan listrik, infrastruktur pengisian daya, dan proyek-proyek transportasi berkelanjutan lainnya adalah peluang yang signifikan yang mesti dilirik perbankan. Dengan perkembangan teknologi baterai yang lebih baik dan peningkatan kesadaran tentang pentingnya mengurangi emisi transportasi, pembiayaan dalam sektor ini menawarkan potensi pertumbuhan yang sangat besar dan menjanjikan.

Perbankan juga bisa melirik sektor pertanian berkelanjutan yang mengadopsi praktik-praktik ramah lingkungan dan inovasi teknologi dapat menghasilkan hasil yang lebih baik. Pembiayaan untuk proyek-proyek ini, seperti pertanian organik, irigasi hemat air, dan manajemen limbah pertanian, dapat meningkatkan produktivitas dan mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan.

Satu lagi yang tak kalah menarik untuk dilirik perbankan adalah sektor infrastruktur hijau seperti pembangunan bangunan ramah lingkungan dan infrastruktur publik yang lebih efisien.

Namun, untuk mewujudkan hal itu, ada sejumlah persoalan mendasar yang masih menjadi tantangan, namun bukan berarti tidak bisa dilalui. Salah satunya adalah kurangnya aksesibilitas dan ketersediaan pembiayaan yang dapat mendukung proyek-proyek berkelanjutan. Hal ini terutama terjadi di negara-negara berkembang seperti Indonesia yang sering kali kesulitan untuk mengakses modal yang diperlukan dalam mengimplementasikan solusi berkelanjutan.

Persoalan lainnya adalah ketidakseimbangan pembiayaan perbankan. Pembiayaan hingga kini masih lebih banyak dialokasikan untuk sektor-sektor yang tidak berkelanjutan atau berisiko, seperti industri fosil atau proyek infrastruktur yang merusak lingkungan. Sementara itu, sektor-sektor berkelanjutan seperti energi terbarukan atau pertanian berkelanjutan sering kali tidak mendapatkan alokasi yang memadai. Ini sekaligus menjadi challenge bagi perbankan yang sudah berkomitmen mewujudkan pembiayaan berkelanjutan untuk lebih memberi perhatian pada sektor-sektor berkelanjutan.

Regulasi dan kebijakan yang tepat juga masih menjadi persoalan dalam pembiayaan berkelanjutan. Pemerintah perlu menciptakan regulasi dan memperluas kebijakan yang mendorong pembiayaan berkelanjutan meliputi insentif fiskal untuk investasi berkelanjutan, penerapan aturan pelaporan transparan terkait risiko lingkungan dan sosial, serta pengembangan pasar keuangan yang mendukung pembiayaan berkelanjutan.

Tampaknya kita perlu mengapresiasi pemerintah yang telah mengimplementasikan berbagai program untuk mencapai keberlanjutan, termasuk menerapkan insentif fiskal sehingga dapat menarik investasi proyek hijau dan industri hijau. Adapun insentif lain yang diberikan berupa tax holidays dan tax allowances.

Belum adanya pengukuran dan pelaporan yang konsisten, juga menjadi tantangan tersendiri. Padahal, untuk menarik minat investor dan lembaga keuangan, dibutuhkan pengukuran dan pelaporan yang konsisten mengenai kinerja berkelanjutan. Standar pelaporan seperti yang diterapkan Global Reporting Initiative (GRI)–sebuah organisasi internasional bidang keberlanjutan–serta Sustainability Accounting Standards Board (SASB) yang memasukkan elemen biaya lingkungan, agaknya bisa menjadi solusi.

Baca juga: Implementasi Green Economy makin urgen meskipun banyak tantangan dan peluang, ini selengkapnya…

Last but not least, kurangnya kesadaran dan pemahaman tentang pentingnya pembiayaan berkelanjutan menjadi tantangan tersendiri. OJK dalam laporan Roadmap Keuangan Berkelanjutan Tahap II (2021-2025) mengungkapkan tantangan terbesar dalam menerapkan keuangan berkelanjutan adalah meyakinkan pelaku usaha dan masyarakat bahwa upaya untuk menghasilkan keuntungan akan lebih baik dan langgeng jika dilakukan dengan mempertimbangkan sumber daya alam dan dampak sosial kepada masyarakat.

Namun perlu dicatat, kelalaian dalam melakukan pertumbuhan yang bertanggung jawab akan menimbulkan biaya yang besar. Penelitian University of California, Berkeley, AS menyatakan apabila perubahan iklim tidak dimitigasi dengan baik maka akan menyebabkan penurunan PDB sebesar 23% di tahun 2100.

Literasi atau kampanye dengan goal meningkatkan kesadaran tentang dampak lingkungan dan sosial dari sebuah keputusan  investasi, perlu terus menerus disuarakan industri jasa keuangan, utamanya perbankan yang punya peran sangat strategis dalam mewujudkan pembiayaan berkelanjutan demi keberlanjutan bumi. No nature, no future. ■

Deddy H. Pakpahan/Senior Editor digitalbank.id

Foto/Ilustrasi: Pexels