digitalbank.id – UNTUK urusan harga saham, kali ini bank digital PT Bank Jago Tbk (ARTO) tidak jagoan seperti namanya. Kini saham emiten besutan JerryNg ini turun tajam hingga kembali menyentuh level seperti pada 3 tahun lalu. Mengapa bisa terjadi?
Sebagian orang berpendapat bahwa kejatuhan saham ARTO antara lain karena spekulasi berlebihan di era tumbuhnya bank mini dua tahun lalu.
Saat itu, harga saham-saham bank bermodal kecil, atau bank mini, sempat meroket ke angkasa pada 2021 di tengah kewajiban pemenuhan modal inti oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan spekulasi di pasar soal adanya investor strategis yang siap menyuntik dana ke emiten bank kecil tersebut serta mengubahnya menjadi bank digital. Spekulasi tinggallah spekulasi apabila tidak diiringi kinerja keuangan yang memadai, maka tak ada pengaruh signifikan.
Padahal pada awal 2022 harga saham ARTO sempat menembus Rp19.000/saham. Kontras dengan pada awal 2021, harga saham masih berada di rata-rata Rp3.500-an/saham.
Pada penutupan perdagangan Kamis (27/4/2023), saham ARTO ditutup di bawah Rp2.000 per saham untuk kali pertama sejak medio 2020 lalu, tepatnya Rp1.995 per saham.
Ini artinya dibandingkan level tertinggi sepanjang masa Rp19.000/saham tersebut, saham ARTO sudah terjun bebas nyaris 90%.
Dalam tiga hari perdagangan selanjutnya saham ARTO mampu bergerak di zona hijau dan kembali ke level 2.000, namun masih jauh dari harga pucuk yang pernah dicatatkan perusahaan.
Memang, Bank Jago, yang sebelum dibeli Jerry Ng dkk pada akhir 2019 bernama Bank Artos, saat ini sudah membukukan laba. Lebih tepatnya, pada tahun penuh 2021 dengan laba Rp86 miliar, setelah merugi 6 tahun beruntun.
Namun, pada 2022, laba Bank Jago ambles 81,50% menjadi Rp 15,91 miliar.
Kinerja negatif ini terseret oleh menggelembungnya sejumlah beban, termasuk dari sisi operasional, keuangan dan lainnya.
Kinerja terbaru, pada kuartal I 2023, laba bersih Bank Jago turun 7,56% yoy menjadi Rp17,50 miliar seiring membengkaknya beban operasional.
Kabar baiknya, pendapatan bunga & syariah bersih tumbuh menjadi Rp422,73 miliar pada kuartal I 2023 dari periode yang sama tahun sebelumnya Rp316,31 miliar.
Rasio profitabilitas macam return on asset (ROA) Bank Jago juga mini, hanya 0,51%, jauh di bawah industri yang lebih dari 2,5%.
Ini artinya, kinerja bottom line Bank Jago belum semeyakinkan spekulasi yang beredar soal masa depan bank digital dan polesan-polesan lainnya. Dengan kata lain, Bank Jago masih perlu membereskan sejumlah pekerjaan rumah dan ‘bersih-bersih’ di sana sini.
Ditambah, seiring merosotnya harga saham Bank Jago dari level ATH-nya, praktis kapitalisasi pasar (market cap) rontok dari Rp250-an triliun hingga tersisa Rp29 triliun saat ini.
Memang, angka Rp29 triliun bukanlah angka yang kecil, hanya saja hal tersebut turut memengaruhi aliran dana asing yang berpotensi masuk ke ARTO.
Ini terlihat ketika ada pemberitaan pada tengah Februari lalu bahwa akhirnya ARTO keluar dari perhitungan indeks MSCI teranyar.
Sebagaimana diketahui MSCI bersama FTSE biasa menjadi indeks acuan fund asing untuk melihat saham-saham Indonesia potensial.
Efek lanjutan dari anjloknya saham ARTO adalah sang bos Jerry Ng terdepak dari daftar orang terkaya Indonesia.
Menurut data Forbes, Jerry Ng sempat berada di peringkat 35 dari daftar 50 orang paling tajir di RI dengan kekayaan US$1,2 miliar pada 2022 sebelum keluar dari daftar elite tersebut. ■