digitalbank.id – Akibat perekonomian nasional yang solid, dibandingkan banyak megara, peluang terjadinya resesi ekonomi di Indonesia amatlah kecil, yakni cuma 3 persen.
Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) Sunarso mengutip survei yang dilakukan Bloomberg mengenai probabilitas resesi mengatakan, banyak negara di dunia ini punya peluang resesi di atas 20 persen pada 2023.
Sri Lanka punya probabilitas resesi tertinggi di dunia, yakni 85 persen, disusul Uni Eropa (50 persen), AS (40 persen), Selandia Baru (33 persen), Jepang dan Korea masing-masing 25 persen, kemudian Pakistan, Taiwan, Australia, Hong Kong dan China masing-masing 20 persen, lalu Malaysia (13 persen), Thailand dan Vietnam masing-masing 10 persen dan Filipina (8 persen).
“Probabilitas terjadinya resesi di Indonesia cuma 3 persen atau di bawah India yang probabilitasnya 0 persen. Kita bangga Indonesia mampu mengelola ekonominya dengan baik, maka kita memiliki ekonomi yang solid dan peluang terjadinya resesi hanya tiga persen,” katanya dalam webinar “Tren Perbankan di Tahun 2023” yang digagas OJK Institite di Jakarta, Selasa (17/1).
Menurut dia, perekonomian Indonesia masih akan kuat karena terkendalinya Covid-19 yang membuat aktivitas bisnis dan ekonomi kembali berjalan lancar, stabilitas harga komoditas, dan perbaikan peringkat investasi Indonesia.
Sementara resesi ekonomi Amerika Serikat (AS), perlambatan ekonomi global, peningkatan tensi geopolitik yang menyebabkan diskusi rantai pasok, tekanan inflasi, dan peningkatan Covid-19 di China, masih menimbulkan ketidakpastian perekonomian global dan nasional.
Sementara itu tren industri perbankan akan dipengaruhi oleh berbagai faktor a.l. bonus demografi dimana pada 2030 sebanyak 64 persen dari total penduduk Indonesia merupakan penduduk usia produktif.
Perilaku nasabah yang semakin terdigitalisasi juga akan mempengaruhi perbankan, sebagaimana tampak dari peningkatan pembayaran digital hingga lebih dari 30 persen, sedangkan transaksi tunai turun menjadi hanya 10 persen.
“Kemudian tren penurunan kredit yield akan semakin menekan net interest margin (NIM) bank akan semakin tertekan. Jadi di 2020 sekitar 10 persen, di 2022 menjadi 6 persen, saya yakin akan terus menekan,” tuturnya.
Kemudian inflasi yang berpotensi direspons dengan kenaikan suku bunga acuan bank sentral akan mempengaruhi kebijakan perbankan yang kita tidak bisa serta merta menaikkan suku bunga karena berisiko meningkatkan non performing loan (NPL).
Utilisasi data dan teknologi juga akan mempengaruhi kinerja perbankan, termasuk kompetisi dengan perusahaan finansial berbasis teknologi.
“Persaingan semakin ketat dengan hanya pemain non-bank seperti fintech akan meramaikan industri di jasa keuangan,” demikian Sunarso. (HAN)