digitalbank.id – OTORITAS Jasa Keuangan (OJK) meminta perbankan untuk meningkatkan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) lebih agresif lagi sesuai dengan profil risikonya. Friderica Widyasari Dewi, Anggota Dewan Perlindungan Konsumen OJK, mengatakan tren restrukturisasi kredit terkait Covid-19 terus menurun.
Posisi kredit restrukturisasi Covid-19 pada Juni 2022 tercatat Rp576,17 triliun, atau lebih rendah dari outstanding bulan sebelumnya Rp596,25 triliun. Jumlah debitur restrukturisasi juga turun dari 3,13 juta pada Mei menjadi 2,99 juta debitur per Juni 2022.
Friderica mengatakan rasio CKPN perbankan untuk restrukturisasi kredit Covid-19 pada Juni 2022 tercatat meningkat sebesar 21,1 persen year-on-year (yoy) menjadi sekitar Rp121 triliun. “Saat ini OJK senantiasa mengkaji secara cermat kebijakan restrukturisasi mendatang yang tepat guna dan juga tepat sasaran berdasarkan kondisi pertumbuhan industri dan juga daerah yang membutuhkan,” ujar Friderica.
Dia menambahkan OJK terus melakukan pemantauan terhadap perkembangan terkini dan mendorong kinerja serta kontribusi sektor jasa keuangan dalam mempertahankan stabilitas sistem keuangan dan menjaga pemulihan ekonomi nasional.
Sementara itu, Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BBRI) Sunarso menyatakan perseroan siap menghadapi berakhirnya masa restrukturisasi kredit terdampak Covid-19 yang jatuh pada Maret 2023. Sunarso menjelaskan keyakinan itu tidak terlepas dari rasio loan at risk (LAR) perseroan yang jauh berada di bawah pencadangan. BRI dalam hal ini terus meningkatkan pencadangan guna meredam potensi LAR menjadi risiko kredit bermasalah (non-performing loan/NPL).
Sampai dengan semester I/2022, LAR perseroan bercokol di level 20,8 persen atau turun dari posisi tahun lalu yang mencapai 24,1 persen. Adapun, LAR Coverage meningkat sebesar 680 basis poin menjadi 42,4 persen pada tahun ini. “Angkanya ternyata dari LAR, yang jatuh tidak bisa diselamatkan hanya 8 persen, sedangkan BRI sudah mencadangkan 42 persen. Artinya, kalau yang tidak bisa diselamatkan mencapai 40 persen, ya masih aman karena masih terlindungi oleh pencadangan terhadap LAR,” kata Sunarso.
Oleh sebab itu, Sunarso menyampaikan apabila Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tidak melanjutkan masa restrukturisasi kredit terdampak Covid-19, emiten bank berkode saham BBRI tersebut sudah siap menghadapi potensi meningkatnya risiko kredit.
Sementara itu, Piter Abdullah, Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core), menilai tenggat waktu restrukturisasi pinjaman Covid-19 harus diperpanjang. Menurutnya, penjadwalan ulang atau rekstrukturisasi kredit diperlukan tidak hanya pada saat krisis, tetapi juga pada saat pemulihan ekonomi. Menurutnya, meski Indonesia saat ini sudah keluar dari masa krisis, perekonomian belum sepenuhnya pulih dan masih dibayangi ketidakpastian global. Akan lebih bijaksana jika kita memperpanjang gap restrukturisasi kredit hingga 2024 untuk melindungi dari ketidakpastian ekonomi,” katanya.(SAF)