digitalbank.id — DALAM SEBUAH MAKALAH yang diterbitkan World Economic Forum (WEF), disebutkan menjadi perusahaan digital membutuhkan perubahan yang jauh lebih besar daripada sekadar berinvestasi dalam teknologi digital terbaru. Perusahaan perlu mencari model bisnis baru, secara fundamental memikirkan kembali model operasi mereka, mengubah cara mereka menarik dan mengembangkan bakat digital, dan pertimbangkan kembali bagaimana mereka mengukur keberhasilan bisnis.
Menurut Bayu Prawira Hie, Direktur Eksekutif Intellectual Business Community, masalah yang mendesak dan perlu diwaspadai dalam transformasi digital di Indonesia termasuk bank digital, adalah risiko perang tech talent di Indonesia. Maksudnya, permintaan dan kebutuhan akan ahli teknologi digital berbakat akan sangat tinggi di era transformasi bank digital dalam 2-3 tahun ke depan. Namun, suplai talenta digital ini sangat sedikit.
Di Indonesia, demikian Bayu, tidak banyak orang yang menguasai teknologi. Maksudnya menguasai lengkap implikasi teknologi, mengerti artificial intelligence, machine learning dan deep learning. “Talenta teknologi yang punya high level of digital skill ini sangat-sangat kurang,” ujarnya lincah.
“Maka yang akan terjadi adalah “perang” tech talent — saling bajak talenta teknologi digital, karena defisit talenta. Bahkan ini bisa terjadi di hampir di setiap industri,” ucap Bayu.
Menurut survey RockBird, kesenjangan talenta teknologi di Indonesia mencapai 50,4%. Anggaran rekruitmen hanya sekitar 19,3% dan kesenjangan kultural di perusahaan mencapai 13,9%.
Selain terbatasnya talenta teknologi, di sisi lain tingkat gaji atau remunerasi orang dengan kualifikasi ini juga sangat tinggi. Sedangkan pihak bank pun masih belum rela membayar mahal talenta teknologi. “Ini jelas akan menjadi tantangan transformasi bank digital,” ucap doktor bidang transformasi digital bank pertama di Indonesia ini.
Hal lain yang ikut menjadi tantangan transformasi bank digital adalah masalah kultur/budaya. Saat ini, yang duduk di top manajemen bank umumnya masih dari generasi X. Sedangkan talenta teknologi lahir dari generasi Y alias milenial. ” Generasi milenial ini seringkali melihat manajemen bank itu lebih formal, kaku dan ada sisi feodalnya,” ucap Bayu. Ini menjadi alasan generasi milenial lebih memilih bekerja di Fintech yang lebih fleksibel dan kekinian daripada bekerja di Bank.
Alhasil, dalam masa transformasi digital bank-bank di Indonesia diyakini akan bertemu titik defisit talenta teknologi digital. Ini tentu harus segera diantisipasi tak cuma oleh bank, tapi juga angkatan kerja produktif untuk segera meng-upgrade dirinya dengan skill set yang baru sehingga dapat mengisi kekosongan talenta teknologi digital ini.
Di sisi lain, masih menurut Bayu, staf bidang non teknologi justru mengalami surplus alias over supply. Mengapa ini terjadi ? Karena digitalisasi dan pandemi belakangan ini menjadi alasan bank-bank menutup cabangnya. Menurut laporan OJK, sampai dengan April 2021, jumlah kantor cabang perbankan saat mencapai 19,780 unit, berkurang 1,232, dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Dapat dipastikan tahun 2022, penutupan atau pengurangan kantor cabang akan makin banyak. Nah dapat dibayangkan betapa bank akan mengalami kelebihan karyawan/staf dalam waktu dekat. (SAF)