digitalbank.id – Kasus yang mendera Alibaba milik Jack Ma dan raksasa teknologi Tencent di China, seharusnya menjadi pelajaran bagi perbankan di Indonesia. Kedua raksasa teknologi yang terjun di bisnis keuangan itu, disinyalir oleh otoritas keuangan di China atau CRBC (China Banking Regulatory Commission) telah lama mempraktikkan shadow banking yang membuat terganggunya stabilitas keuangan.
Shadow banking adalah praktik atau kegiatan keuangan yang dilakukan oleh lembaga keuangan non-bank di luar regulasi yang semestinya. Pendeknya, praktik ini mensiasati aturan yang ada dan tidak tunduk pada regulator.
Digitalisasi sektor keuangan yang tumbuh pesat, mau tak mau memang membawa berbagai dampak, tidak hanya yang positif juga dampak buruk, diantaranya praktik shadow banking oleh lembaga keuangan non-bank.
Baca juga: Bank BJB gandeng PT Link Net salurkan kredit dan pacu digitalisasi UMKM
Itu sebabnya, belum lama ini, pemerintah China melakukan reformasi regulasi di bidang keuangan di tengah situasi pandemic COVID-19 yang masih berlangsung.
Seperti yang terungkap dalam Asia Investor Forum 2021, regulasi yang dilakukan otoritas lembaga keuangan di China, meliputi antara lain, risiko praktik shadow banking bagi industri keuangan, menyoroti perilaku monopoli seperti yang dilakukan raksasa teknologi Tencent, dan meningkatkan kualitas dan keamanan negara.
Di Indonesia sendiri, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengakui, fenomena praktek shadow banking adalah dampak dari pesatnya digitalisasi di sektor keuangan.
Pada pembukaan Bulan Fintech Nasional, November 2021 lalu, dia mengatakan, bahwa ada sejumlah resiko yang harus disadari akibat digitalisasi sektor keuangan. “Praktik shadow banking, serangan siber, dan perlindungan data pribadi,” ujar Perry.
Baca juga: Pengguna aplikasi Livin’ by Mandiri di Jabar terus meningkat, transaksi digital tembus 70 juta
Dampak yang menimbulkan resiko itu, lanjutnya harus ada tindakan mitigasi secara cepat dan tepat, agar tidak menimbulkan kerugian yang lebih besar.
Bank Indonesia selaku bank sentral terus memonitor perkembangan yang terjadi sambil mendorong koordinasi para pelaku di sektor industri keuangan. Misalnya, makin memperkuat integrasi antar perbankan dengan layanan fintech dompet digital.
Sementara, untuk mengurangi faktor risiko, stabilisasi keuangan dan fungsi pengawasannya, lewat peraturan yang tengah dirancang, OJK (Otoritas Jasa Keuangan) nampaknya bakal membatasi besaran pinjaman dan pendanaan bank atau super lender kepada fintech.
Kalau ini benar, tentu saja akan berdampak pada penyaluran kredit yang kini tengah masif dilakuan oleh bank bersama fintech melalui skema channeling selama ini.
Padahal selama ini, Bank BRI misalnya telah bekerja sama dengan beberapa P2P lending, e-commerce, ride Hauling, Gojek, Tokopedia dan Amartha dalam penyaluran kreditnya yang sampai saat ini jumlahnya mencapai Rp173 miliar.
Baca juga: Tak cukup jadi bank digital, KB Kookmin Bank putuskan masuk ranah metaverse
Begitu pun dengan BNI, yang berkolaborasi dengan fintech untuk memperluas jangkauannya. Hasil kolaborasi itu mampu mencatatkan jumlah transaksi per September 2021 lalu sebanyak 207 juta transaksi.
Sama halnya dengan BCA yang gencar menjalin kolaborasi dengan e-commerce dan fintech. Jumlah kredit yang disalurkan per Oktober lalu, sebesar Rp 145,7 miliar dalam berbagai skema partnership.
Makanya, Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo, mewanti-wanti Pentingnya aturan baru yang dapat mengintegrasikan perbankan dan fintech. ” Ini untuk lebih tertata dan bersinergi antara bank dan fintech yang sesuai dengan aturan. Juga untuk menghindari praktik shadow banking,” jelasnya. (LUK)