digitalbank.id – INDONESIA MEMERLUKAN SATELIT berkapasitas 1 terabyte untuk mendukung kelancaran proses transformasi digital, termasuk transformasi digital industri perbankan yang saat ini masih menghadapi kendala infrastruktur jaringan komunikasi.
Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny Gerard Plate mengatakan Indonesia perlu mempersiapkan infrastruktur yang kuat dalam menghadapi transformasi digital, termasuk keberadaan satelit berkapasitas besar.
“Seperti ada dalam roadmap Kominfo, Indonesia saat ini membutuhkan kapasitas satelit yang sangat besar, setidaknya 1 terabyte,” ujarnya pada acara penandatanganan pinjam-pakai lahan BTS 16 kabupaten dengan BAKTI Kominfo di Nusa Dua, Bali, akhir pekan ini.
Baca juga: Pengawasan OJK terhadap fintech bisa paralel dengan literasi finansial
Dia mengatakan, saat ini untuk telekomunikasi di Indonesia sudah memanfaatkan sembilan satelit yang terdiri dari empat satelit nasional dan lima satelit asing. Namun, katanya, kesembilan satelit tersebut belum cukup karena kapasitasnya baru 50 gigabyte, sementara 60% dari kapasitas tersebut digunakan oleh Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi Kementerian Komunikasi dan Informatika (BAKTI) Kominfo.
Sebagai informasi, 60% kapasitas satelit komunikasi digunakan oleh BAKTI untuk mendukung pembangunan untuk membangun transformasi digital.
Target 2023 Satria 1 mengudara
Lebih lanjut dia mengatakan Kominfo berharap bisa meletakkan Satelit Satria 1 yang saat ini dalam proses produksi. Targetnya, kata dia, pada kuartal keempat tahun 2023 satelit itu bisa mengudara.
“Kalau Satria 1 bisa mengudara, maka Indonesia mempunyai satelit terbesar di Asia dan nomor lima di dunia,” tuturnya.
Kemenkominfo sebelumnya mengungkapkan bahwa Indonesia menjalin jerma sama dengan Amerika Serikat (AS) melalui untuk proyek Satelit Satria 1. Satelit ini dibuat oleh Tales Alemania Space dan roket peluncurnya menggunakan Space X Falcon 95500 asal AS yang saat ini sedang dalam proses produksi.
Satelit Satria 1 rencananya akan diluncurkan pada kuartal IV-2023. Satelit ini akan ditempatkan pada slot orbit 146 Bujur Timur (BT). Satelit dengan kapasitas 150 Gbps ini merupakan salah satu yang terbesar di Asia. Untuk kepentingan Indonesia, satelit akan digunakan untuk layanan Wi-Fi di 150 ribu titik layanan publik.
Johnny mengatakan pembiayaan teknologi komunikasi memang tidak mudah dan tak murah. Karena itu diperlukan adanya berbagai gagasan untuk mencari bauran teknologi serta bauran pembiayaan atau blended technology and blended financing.
Baca juga: Fintech syariah, potensi tersembunyi yang bakal membesar
Berbagai bauran pembiayaan yang sudah diupayakan yakni dari universal service oblgation (USO), penerima negara bukan pajak sektor Kominfo, dari rupiah murni, bahkan juga dari international financial market.
“Tidak gampang (mencari bauran pembiayaan) dan ini mau dihadirkan di daerah termasuk di daerah-daerah 3T untuk kepentingan masyarakat,” ujarnya.
Tantangan bank digital
Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan ada sembilan tantangan yang dihadapi bank-bank di Indonesia dalam melakukan transformasi digital, termasuk di antaranya adalah infrastruktur jaringan komunikasi.
Senior Executive Analyst OJK Roberto Akyuwen mengurai kendala itu terlihat mulai dari risiko perlindungan dan pertukaran data pribadi, risiko strategis investasi di bidang IT, hingga risiko serangan siber.
“Lalu soal kesiapan organisasi, risiko kebocoran data nasabah, penyalahgunaan teknologi, risiko penggunaan pihak ketiga (outsourching), infrastruktur jaringan komunikasi, kemudian ada regulatory framework yang dalam beberapa konteks mungkin dianggap belum sepenuhnya kondusif,” katanya.
Baca juga: Penyaluran pinjaman fintech lending hingga September 2021 tembus di atas Rp262 triliun
Kendala itu juga akan berimbas pada belum meratanya adopsi internet dan teknologi digital di Indonesia. Mengutip laporan Bank Dunia bertajuk “Beyond Unicorns: Harnessing Digital Technologies for Inclusion in Indonesia” yang belum lama ini dirilis, perkembangan pesat adopsi internet dan teknologi digital di Indonesia memang masih belum merata.
Kesenjangan akses ke teknologi digital mencerminkan beragam dimensi kesenjangan yang ada—di seluruh kelompok, wilayah, dan kelas ekonomi. Proporsi masyarakat pada kelompok 10% distribusi pendapatan tertinggi yang punya akses ke internet tercatat sebesar 71% pada 2019. Persentase itu lima kali lipat lebih besar dibandingkan kelompok 10% distribusi pendapatan terendah, yang sebesar 14%.
Lalu, penyebaran penetrasi pengguna internet juga masih terpusat di Pulau Jawa, yakni sebesar 56,4%. Sedangkan, Sulawesi, Kalimantan, Bali dan Nusa Tenggara, serta Maluku dan Papua masih di bawah 10%. Akibatnya, bukan hanya kelompok masyarakat tertentu tidak bisa mengakses internet dan teknologi digital, tetapi mereka juga belum bisa menikmati manfaat dari layanan itu, apalagi di masa pandemi Covid-19. (HAN)