digitalbank.id – BANK DIGITAL punya beberapa ciri a.l. tak punya banyak kantor, semua proses transaksi perbankan dilakukan secara online/digital, menggunakan aplikasi (apps), biaya murah, efisien, tidak menyusahkan nasabah untuk datang ke kantor dan transaksinya bisa dilakukan di mana saja.
Dari semua ciri bank digital itu, ‘efisien’ agaknya menjadi ciri paling menonjol. Tapi apakah bank digital yang ada di Indonesia saat ini sudah efisien dalam segala hal?
Nyatanya tidak. Atau lebih tepatnya belum, terutama dalam hal cost of fund. Harusnya, kata Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara, kemunculan bank digital bisa mengurangi cost of fund.
Dia lantas mencontohkan bank digital asal Korea Selatan (Korsel) Kakao Bank yang dalam waktu beberapa bulan saja bisa menghimpun 5 juta user baru.
“Di situ cost of fund bisa ditekan. Di Indonesia mungkin yang harus jadi koreksi adalah kemunculan bank digital tapi beberapa bank digital justru menawarkan simpanan dengan bunga yang tinggi sekali,” katanya di Jakarta belum lama ini.
Baca juga: Usung teknologi blockchain, Bank Permata buat terobosan transaksi trade finance
Hal itu jelas kontradiktif bila dikaitkan upaya efisiensi perbankan dan perlu menjadi perhatian Otoritaa Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia untuk mengingatkan bahwa kehadiran digitalisasi itu untuk efisiensi.
“Kehadiran bank digital jangan [malah] menambah perang suku bunga hanya untuk menggaet simpanan yang lebih besar. Kalau itu yang terjadi, tidak ada bedanya dengan bank-bank konvensional yang dulu dikritik tidak efisien,” demikian Bhima.
Lebih lanjut dia mengatakan strategi mengerek suku bunga menjadi penyulut buruknya profitabilitas pada bank digital. Apalagi sejumlah bank digital melaporkan masih menelan kerugian hingga kuartal III-2021.
“Mereka [bank digital] menawarkan bunga tinggi sekali. harusnya efisiensi, kalau kaya gini tidak ada bedanya dengan bank konvensional. Pola pikirnya masih dalam bank konvensional dalam urusan menggaet pengguna,” jelasnya.
Baca juga: Salah hitung customer acquisition cost, jangan harap bank digital cuan
Padahal, letak keunggulan bank digital sebetulnya terletak dari efisiensi operasionalnya. Dengan karakteristik digital yang lebih murah dan mudah, bank digital seharusnya bisa mencatatkan profitabilitas lebih baik bila menggaet pengguna dengan strategi lain.
“Saya melihat bahwa kemunculan bank digital bisa mengurangi CoF. Tapi karena bunga simpanan yang ditawarkan tinggi, agak kontradiktif dengan konsep efisiennya,” jelas Bhima.
Strategi bank digital yang agreaif menawarkan bunga deposito tinggi tak terlepas dari strategi untuk menggaet nasabah dan memupuk dana pihak ketiga (DPK). Terlebih, persaingan memang amat ketat untuk memperebutkan pangsa pasar, utamanya di segmen milenial.
“Tapi strategi ini idealnya tidak untuk jangka panjang karena akan kontra dengan tujuan bank digital yang diharapkan dapat meningkatkan efisiensi, termasuk efisiensi cost of fund perbankan.”
Baca juga: Lani Darmawan dipastikan akan menjadi nakhoda baru CIMB Niaga
Rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) perbankan secara umum ini trennya terus mengalami kenaikan. Sempat menurun sedikit pada Agustus 2021 tetapi jika dibandingkan dengan pra-pandemi, BOPO ada di 79% kemudian sekarang konsisten berada di atas 80% hingga 85%.
“Kalau bank mau etap kompetitif, ingin tetap mendapatkan margin yang cukup besar, maka mau tidak mau laba dipertahankan dengan menekan biaya operasional.”
Bhima mengapresiasi beberapa bank yang melakukan langkah konkret, misal mengurangi dengan signifikan selama pandemi untuk kantor-kantor cabang yang dirubah menjadi digital.
Kemudian juga bank melakukan berbagai inovasi sehingga layanan menjadi lebih efisien, sehingga tidak terlalu butuh tatap muka ataupun pengeluaran-pengeluaran yang berlebihan.
“Jadi kalau biaya operasional terhadap pendapatan operasional bisa dijaga bahkan menurun, tentunya relatif bisa efisien, bisa kompetitif,” ujarnya. (HAN)