digitalbank.id – AMBISI BANK KECIL menjadi bank digital tampaknya tak terbendung lagi. Sejak tahun lalu bank kecil atau bank-bank mini dengan modal inti Rp1 triliun-Rp5 triliun) berbondong-bondong ingin menjadi bank digital. Banyak hal yang mesti dipenuhi sebagai prasyarat, termasuk yang utama adalah ketentuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang salah satunya menetapkan modal inti bank digital minimal senilai Rp10 triliun untuk bank baru. Sedangkan untuk bank lama yang berubah menjadi digital diizinkan untuk modal minimal Rp3 triliun.
Lantas, katakanlah bank lama, dengan modal Rp3 triliun, apa mereka benar-benar bisa menjelma menjadi bank digital?
Untuk bertransformasi menjadi bank digital, bukan perkara mudah. Selain butuh modal inti sesuai aturan OJK, para pemilik bank harus menguras isi bankasnya lebih dalam karena infrastruktur bank digital itu sangat mahal, apalagi investasi teknologinya. Belum lagi waktu yang dibutuhkan untuk men-setup semuanya tidak sebentar.
Baca juga: Tak paham selera “High Earners, Not Rich Yet”, jangan harap bank dapat cuan
Dibutuhkan waktu, tidak kurang dari 6 bulan hingga satu tahun untuk menyiapkan migrasi teknologi, terkait semua data nasabah, berkas dan laporan keuangan dan jaring pengaman ke dalam sistem teknologi Artificial Intelegence (AI) yang digunakan.
Banyak tahapan
Arsitektur teknologi yang digunakan, pusat kontrol dan server yang dipakai pun harus mumpuni dan teruji. Bukan lagi sekadar teknologi kelas e-wallet atau fintech. Selain itu, proses pembentukan bank digital harus melului agile metodelogi yang valid dan melalui beberapa tahapan. Itu belum termasuk mengurus izin operasional dan pendirian bank digital. “Pendirian bank baru harus mempunyai modal Rp 10 triliun,” ujar Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso.
Hal yang paling penting dalam migrasi ke bentuk bank digital, menurut seorang konsultan bank, adalah core banking system (CBS) bank itu sendiri. “ Ini yang nantinya akan menentukan arsitektur teknologinya,” ujarnya kepada digitalbank.id.
Core Banking System (CBS) pada setiap bank, tentu saja akan menuntun arsitektur teknologi yang kita kenal dengan istilah artifisial Intelegence untuk merancang, misalnya current account, transaksi berjalan, besarnya bunga pinjaman, buku jurnal, data nasabah, laporan debit-kridit dan lain- lain secara real time dan terintegrasi. Semua itu, katanya, membutuhkan fondasi teknologi yang handal.
Baca juga: BPD berpotensi besar jadi bank digital bila go public dan transparan
Tak berlebihan rasanya, jika banyak bank digital di berbagai negara, juga di sini, PT Bank Jago dan PT Bank Ina Perdana, misalnya mempercayakan teknolognya pada perusahaan Platform Mambu. Karena memang perusahaan ini menguasai Integent Teknologi (IT) dan Artifisial Intelegence (AI).
Soal berapa biaya yang harus digelontorkan untuk menggunakan arsitektur teknologi itu, konon nilainya mencapai triliunan rupiah.
Teknologi AI ini juga mampu melakukan digital on boarding, misalnya melakukan proses akuisisi data nasabah dan seluruh transaksi secara digital.
Biasanya platform bank digital terdiri dari 3 layer. Nantinya bank digital akan bisa di akses lewat App presentasi, yang sesuai dengan produk CBS bank tersebut dan akan mengunduh data dan proses administrasinya Layer selanjutnya adalah koneksi ke ekosistem luar, seperti fintech, e-commerce, asuransi dan ekosistem bank lainnya.
Banyak pengamat perbankan memprediksi, satu dasawarsa ke depan, bank konvensional yang punya modal cekak, bakal hilang dari peredaran. Bank yang hidup hanya bank digital. Bahkan petinggi Bank BCA, memprediksi nantinya, hanya tinggal 3 bank digital saja yang benar-benar ada. Sisanya akan mengais-ngais di pangsa pasar tradisional.
Baca juga: Kacab bank siap-siap mutasi, posisi Anda akan digantikan head of digital
Benarkan bank konvensional dan bank kecil akan benar-benar lenyap ditelan digitalisasi bank dalam bentuk bank digital? Nanti dulu. Survei Mckinsey merilis, angka loyalitas yang cukup tinggi dari masyarakat kita terhadap bank konvensional, dan bank yang selama ini melayani mereka.
Survei itu juga, meneliti 17.000 orang di 15 negara. Dan ternyata, dalam mengadopsi digitalisasi, Indonesia dinilai lebih cepat, jauh melampaui Brazil dan China sekalipun.
Namun, hasil survei tersebut, tentu saja masih harus dibuktikan. Benarkan masyarakat kita siap dengan transformasi yang terjadi di dunia perbangkan.
Dirut Bank Central Asia (BCA), Jahja Suriaatmadja, tetap optimis bank yang dipimpinnya, akan tetap mampu mengikuti trend yang terjadi. Dirut BCA ini bahkan menyatakan, digitalisasi perbankan bukanlah hal yang mudah. Diperlukan infrastruktur semua sektor dan kesiapan masyarakat kita untuk sama-sama bertransformasi.
Dia mencotohkan beberapa negara yang hingga kini, pertumbuhan bank digitalnya tidak seperti yang dibayangkan. Di Korea, Jepang dan Thailand saja, Cuma ada 1 bank digital. “Mungkin nantinya, juga di sini hanya ada 3 bank digital,” ujarnya.
Tak mau latah
Tak jauh berbeda dari rekan swastanya, sebagai bank plat merah, Bank Mandiri pun, sepertinya anteng-anteng saja. Menurut petinggi Mandiri, banknya tak mau buru-buru latah menanggapi persoalan itu.
Lagipula, menurut Dirut Mandiri Darmawan Junaidi sekarang ini pun, bank yang dinakodainya sudah memenuhi kriteria sebagai bank digital. Dan memang, aplikasi Mandiri berupa Superapp Livin-nya saat ini sudah mampu melayani beragam kebutuhan dan keinginan nasabahnya lewat gadget atau smartphone.
Baca juga: Tak ada pilihan, tiga tahun ke depan retail banking harus sudah digital
Aplikasi ini juga terbuka untuk ekosistem lain dengan open Application Programing Interface (API) yang memungkinkan berkolaborasi dengan aplikasi pihak ketiga. “Ya nanti kita lihat sajalah endgame-nya seperti apa. Baru kita ambil langkah mau merger atau akuisisi,” tambahnya.
Kekhawatiran memang tak terlihat pada bank-bank kelas kakap seperti Mandiri, BCA, BRI, BNI, CIMB Niaga, Bukopin atau Bank BTPN yang mencuri start pertama dengan melahirkan Jenius, sebuah embrio bank digitalnya. Yang terasa ketar-ketir menghadapi transformasi digital, tentu saja bang dengan modal di bawah Rp3 triliun, yaitu rombongan bank kecil yang ada saat ini.
Selain sudah diwanti- wanti oleh OJK (Otoritas Jasa Keuangan) agar mereka naik kelas permodalan minimal Rp 3 triliun pada 2022 nanti, bank-bank kecil ini juga bakal kesulitan membangun infrastruktur teknologinya untuk siap menjadi bank digital. Pilihannya, memang tidak banyak. Pilih merger atau pasang badan diakuisisi oleh bank-bank besar yg kini menguasai pangsa pasar hampir 70%.
Seleksi alamiah dunia perbangkan nampaknya bakal dimulai lagi di era digital saat ini. Kue di bisnis industri finansial dunia yang konon bernilai US$28.000, bakal makin seru diperebutkan. Tentu saja oleh bank kakap nasional dan dari luar. Ya, bank kelas teri, lagi-lagi cuma bisa pasang badan, ditelan atau tenggelam. Atau, mereka bisa berhias diri dengan memperbaiki kinerja agar dipinang bank besar atau investor yang kesengsem di bisnis bank digital. (LUK)